MEDIA DAKWAH SECARA ONLINE


.

Dalam melaksanakan dakwah secara on line ada beberapa media yang bisa kita manfaatkan, diantaranya ;
1. Melalui internet.
Banyak orang mengatakan bahwa jaringan internet itu lebih luas dari pada dunia ini. Dan itu memang benar adanya. Oleh sebab itu, banyak orang yang memanfaatkan jasa internet untuk mencari informasi dari berbagai belahan dunia. Begitu juga dengan dakwah. Dimana pun kita berada kita tetap bisa mengakses situs dakwah yang ada di internet.
Begitu juga apabila kita ingin berdakwah melalui internet, kita bisa membuat blog kecil-kecilan kemudian mengisinya dengan materi-materi agama Islam, persoalan sekitar agama Islam, Fiqh Islam, sampai pembahasan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Juga dengan beberapa kisah teladan seperti yang sudah dijelaskan dalam sistematika dakwah secara on line di atas. Kita juga bisa dikatakan menjadi da’i kecil-kecilan. Contoh situs dakwah yang ada di internet adalah : www.dakwahonline.com

2. Melalui hand phone.
Memberikan ceramah-ceramah agama Islam atau yang biasa disebut dakwah kini juga semakin marak dilaksanakan melalui hand phone. Yaitu dengan mengirimkan sms-sms yang berisi pernak-pernik ajaran agama Islam. Walaupun cara seperti ini semakin digalakkan, banyak orang yang tidak menyukai cara seperti ini. Hal ini dikarenakan biayanya cukup mahal yaitu jauh diatas biaya sms biasa.
Dan apabila kita ingin ikut menyumbangkan beberapa tausyiah atau ilmu-ilmu kagamaan juga cukup sulit. Malah hampir dikatakan tidak bisa. Karena kita hanya bisa menjadi member atau anggota saja dan mendapatkan sms tausyiah saja, tanpa bisa menyumbang. Meskipun demikian, tidak sedikit juga orang yang menggandrungi sms dakwah melalui hand phone yang juga bisa dikatakan sistem dakwah secara on line.
Disamping itu, ada kutipan sebuah buku di bawah ini :
”Oh, iya…untung aku tadi shalat dulu. Tak terbayang kalo aja Allah nggak memberkahi semua keinginan dan mimpiku. Makasih Allah, Engkau telah memberi semuanya padaku.”
Kalimat petikan di atas terdapat dalam buku berjudul Shalat is Fun, karya Doel Wahab alias Encep Dulwahab, alumnus Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN, dulu IAIN SGD Bandung). Boleh jadi, pembaca merasa heran mengetahui bahasa yang digunakannya. Memang, itulah bahasa okem atau “ABG” yang dipergunakan Doel Wahab. Judul bukunya juga aneh, pakai bahasa Inggris Shalat is Fun.
Demikian halnya, ketika membaca bab demi bab, bahasa yang dipergunakan Doel Wahab campur aduk antara Indonesia, Inggris, Sunda dan okem atau tutur kalimat yang biasa diucapkan kalangan remaja “ABG”.
Salahkah? Menurut Doel Wahab, dipergunakannya bahasa semacam itu sekadar metode dakwah. Diharapkannya, para pembaca yang berasal dari kalangan anak-anak dan remaja bisa lebih akrab, berminat, dan mudah memahami materi isi bukunya walau berkaitan dengan hukum Islam.
Selain buku Shalat is Fun, penerbit DAR Mizan menerbitkan sejumlah buku sejenis dengan gaya bahasa okem atau bahasa gaul remaja. Di tengah masyarakat, ternyata bukan hanya DAR Mizan, beberapa penerbit besar lainnya juga punya lini penerbitan dengan kekhasan penyajian bahasa gaya remaja, seperti Penerbit Asy Syaamil, Gema Insani Pers, Remaja Rosdakarya, dll. Tujuannya tak jauh berbeda yakni berusaha “menangkap” pasar kalangan anak-anak dan remaja.
Berdasarkan pengamatan tim “PR”, pola penyajian bahasa gaya remaja tampaknya tidak begitu jadi persoalan, tatkala sarana dakwahnya adalah media cetak atau media tulisan seperti di koran, tabloid, majalah, dan sejenisnya. Akan tetapi, ketika gaya bahasa dakwah seperti itu diterapkan dalam dakwah lisan seperti melalui ceramah atau diskusi, kerap kali terasa janggal dan bahkan memunculkan persoalan serius.
Betapa tidak, bisa dibayangkan seandainya Ustaz Jefry, Aa Gym (K.H. Abdullah Gymnastiar.), Ustaz Arifin Ilham, Ustaz Syafii Antonio, Ustaz Didin Hafiduddin, K.H. Miftah Faridl, instruktur ESQ Arie Ginanjar dan lainnya berceramah dengan bahasa gaul, tentu akan terasa aneh. Tak hanya itu, bisa-bisa berdampak buruk yakni para pendengarnya akan kaget dan pesan-pesan dakwah pun tidak tersampaikan secara baik.
Dalam kaitan ini, beberapa pakar komunikasi, berpandangan, dakwah memang harus menggunakan bahasa kaumnya agar komunikatif. Akan tetapi, bukankah kemudian harus menggunakan bahasa yang membingungkan atau menjadikan komunikasi atau audience terganggu “penerimaan” pesan-pesan dakwahnya.
Bahasa kaumnya yang dimaksud itu adalah seandainya yang dihadapi adalah objek dakwah asal Sunda, Jawa, atau Padang, maka tidaklah keliru kalau menggunakan bahasa Sunda, Jawa, atau Padang tatkala menyampaikan ceramahnya.
Selain dari bahasa, metode dakwah yang berkembang sekarang ini ternyata cukup banyak. Saksikan saja, acara-acara di layar televisi pada bulan Ramadan ini. Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab, umpamanya, membahas tafsir Alquran sambil duduk berhadapan dengan sejumlah kaum Muslimah, serta dibantu pemandu acara.
Quraish Shihab merasa cukup membekali dirinya dengan kitab suci Alquran. Beliau tidak membawa catatan, kertas, pulpen, papan tulis, layar proyektor, atau tape recorder, dan kertas bergambar atau alat peraga dakwah lainnya.
Metode dakwah Quraish Shihab ini juga diterapkan oleh sejumlah narasumber televisi yang lainnya. Kalaupun ada perbedaan, itu terletak pada tim kreatif pihak televisi seperti menyelipkan atau memberikan selingan gambar yang berkaitan erat dengan tema ceramah narasumber.
Ada juga metode dakwah di layar televisi yang melibatkan lawan bicara atau dialog dari kalangan yang berprofesi artis, pelawak, pejabat pemerintahan, atau bahkan masyarakat lapisan bawah seperti tukang becak, pedagang kaki lima, buruh, pengamen jalanan, dan lainnya.
Ada pula metode dakwah berupa ceramah massal atau tablig akbar, dengan peralatan dakwahnya berupa podium, pengeras suara, komputer laptop, dan beberapa alat peraga berupa kertas atau barang tertentu. Aa Gym, misalnya, merupakan salah satu pendakwah yang menggunakan metode ceramah dengan media modium, komputer laptop, dan saluran telefon untuk interaksi dengan masyarakat pemirsa di berbagai daerah.
Di Bandung, ada sejumlah mubalig atau dai yang berceramah dengan membawa perlengkapan audio visual dan bahkan papan tulis plus spidol white board. Di masjid Nurul Fallah, Kompleks Sukamenak Indah Kopo, misalnya, sering ada ceramah yang mubalignya membawa sendiri peralatan audio visualnya. Ustaz Asep Rohidin, umpamanya, adalah salah seorang mubalig yang ceramah membawa peralatan audio visual ke Masjid Nurul Fallah.
Selain Ustaz Asep Rohidin, ada juga Ustaz Amri–dari pesantren Daarut Tauhiid (DT)–yang gemar membawa peralatan audio visual tatkala menyampaikan ceramahnya. Ada pula Ustaz Drs. H. Asep Zaenal Ausop, M.Ag. yang gemar berceramah sambil “corat-coret” papan tulis atau white board.
Baik Ustaz Asep Rohidin maupun Ustaz Amri dan Asep Zaenal Ausop, sama-sama mengakui betapa media semacam itu dirasakan membantu penyampaian pesan-pesan dakwahnya. Audiens atau objek dakwah, ungkapnya, akan lebih mudah memahami berbagai persoalan dakwah yang dipaparkannya.
Upaya memberikan pemahaman kepada audience atau objek dakwah selain melalui alat peraga atau audio visual, ada pula yang melakukannya dengan pola dialog interaktif atau tanya-jawab seusai penyampaian materi dakwah, serta membagi-bagikan lembaran kertas fotokopi yang isinya materi dakwah.
Tim “PR” mengamati, baik di layar televisi maupun pada acara-acara pengajian di radio serta di tempat-tempat tertentu dalam kaitannya dengan peringatan hari-hari besar Islam sering kali digelar tanya-jawab. Di radio 102,6 MQ FM, misalnya, setiap pagi antara pukul 5.00 s.d. 6.00 WIB ditayangkan ceramah Aa Gym dan dialog melalui saluran telefon dalam negeri maupun internasional, dan bahkan memanfaatkan jaringan internet di 84 negara.
“Setiap hari Jumat pagi, kami berikan kesempatan kepada para pendengar di berbagai negara untuk mengakses dan berdialog interaktif dengan Aa Gym. Alhamdulillah, jaringan 102, 6 MQ FM yang ada 84 negara berhasil menyebarluaskan ceramah Aa Gym dan menjalin komunikasi interaktif. Umumnya memang orang Indonesia yang berada di luar negeri, baik karena sedang studi, bekerja, atau berwisata,” tutur Iwan, Manajer Radio 102, 6 MQ FM. Ikhtiar berdakwah di era globalisasi–yang ditandai dengan kemajuan berbagai produk teknologi informasi–ternyata bermacam-macam, dan boleh jadi tak terpikirkan di masa silam. Dalam kaitan ini, Aa Gym mengemukakan, dulu berdakwah itu hanya sebatas ceramah di podium lewat momentum pengajian rutin atau khotbah Jumat dan salat Ied. Akan tetapi, sekarang metode dakwah sangat beragam seperti lewat radio, televisi, dan bahkan memanfaatkan layar ponsel.
Selain DPU DT, pihak Dompet Dhuafa, Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), Rumah Zakat Indonesia Dompet Sosial Ummul Quro (RZI DSUQ), Dompet Al Fallah Surabaya, dan lembaga-lembaga pengelola dana ZIS lainnya, juga ada yang memanfaatkan layar ponsel dalam kegiatannya.
Kemajuan produk teknologi informasi, seperti komputer dan ponsel, kini juga dimanfaatkan kaum Muslimin dalam memahami berbagai hukum Islam.
Ikhtiar mengetahui dan meningkatkan kualitas dakwah, ternyata tidak hanya dilakukan oleh para dai di perkotaan. Akan tetapi, juga dai di pedesaan. Tim “PR” mencatat adanya berbagai program peningkatan kualitas dai yang digelar oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Departemen Agama (Depag), dan sejumlah lembaga keagamaan di berbagai daerah.
Dalam hal ini, ormas-ormas Islam pun tak ketinggalan, memprogram pelatihan bagi para dai, seperti yang dilakukan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), Al Washliyah, Mathlaul Anwar, Al Irsyad, dan lain-lain.
Demikian halnya dari aspek literatur dakwah, hingga Ramadan tahun ini, di tengah masyarakat beredar sejumlah buku yang bermanfaat bagi para dai dalam meningkatkan kualitas dakwahnya. Umumnya, buku-buku tersebut ditulis oleh para dai dan cendekiawan Muslim. Misalnya, Dr. K.H. Miftah Faridl menulis buku berjudul “Refleksi Islam: Ikhtiar Memaknai Gagasan Islam Kultural, yang diterbitkan oleh Pusdai Press (2004).
Dalam buku itu, diungkapkan antara lain tentang bagaimana membangun kekuatan dakwah Islamiah melalui konsolidasi para dai.
K.H. Miftah Faridl mengemukakan, sebagai khairu ummat, juru dakwah atau dai adalah kelompok yang mengemban amanat kebajikan untuk membentuk tatanan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
“Para dai merupakan kelompok terdepan dalam membimbing umat agar tetap memelihara semangat spriritualitas membangun kehidupan sosial yang seimbang antara urusan duniawi dengan ukhrawi,” kata K.H. Miftah Faridl.
Diungkapkannya, sepak terjang dai selalu mencerminkan pesan-pesan Islam terutama dalam usaha membentuk bangunan ukhuwah sebagai salah satu pilar penting dalam kesatuan umat. Sedangkan dalam posisinya sebagai figur karismatik di tengah-tengah kehidupan manusia, mereka merupakan kekuatan moral yang sanggup mengembuskan napas kehidupan.




































Internet sebagai Media Dakwah






“Sampaikanlah, walau hanya satu ayat,” demikian ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya suatu ketika. Ujaran yang sangat terkenal tersebut berintikan ajakan kepada para penganut agama Islam untuk senantiasa menyempatkan diri berdakwah dan berbagi pengetahuan bagi sesama, kapanpun, di manapun, dan dalam keadaan bagaimanapun.

Sebelum Rosullulah SAW wafat pada tahun 632 M, dakwah kerap dilakukan secara lisan. Baru pada tahun 644 M ketika Islam dipimpin oleh Utsman bin Affan, sahabat Rosulullah dan khalifah ketiga, dakwah mulai dilakukan secara tertulis. Pada saat itu Al-Qur’an sebagai kitab suci Islam mulai dibukukan, digandakan dan disebarluaskan ke imperium-imperium Islam di penjuru dunia.

Semangat dakwah, meskipun hanya satu ayat, merupakan satu bentuk “tanggung jawab moril” yang sangat mengakar di kalangan umat Islam. Segala daya dan upaya untuk melakukan dakwah terus dilakukan hingga kini. Setelah beratus tahun berselang sejak dakwah lisan dikumandangkan oleh Rosulullah, pada masa kini dakwah telah menggunakan medium bit, binary dan digital. Dakwah dalam bentuk tulisan di buku mendapatkan komplementernya berupa text dan hypertext di Internet.

Meskipun jumlahnya masih sangat sedikit, kalangan umat Islam di Indonesia yang menggunakan Internet sebagai media dakwah jumlahnya kian hari kian bertambah. Total jumlah pengguna Internet di Indonesia saja terhitung baru sekitar 2 persen saja dari total penduduk Indonesia. Tetapi semangat berdakwah “walau hanya satu ayat” tersebut tidak mengurungkan niat para pelaku dakwah digital.

Fenomena dakwah digital tersebut memang berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi informasi (TI) di dunia. Internet komersial baru masuk ke Indonesia pada tahun 1994, dengan dibukanya IndoNet di Jakarta, sebagai Internet Service Provider (ISP) pertama di Indonesia.
Kemudian pada sekitar tahun 1998-1999 mulai marak aneka mailing-list (milis) Indonesia bernuansa Islami. Baru kemudian pada tahun 1999-2000 bermunculanlah situs-situs Islam di Indonesia, yang tidak sekedar situs-situs institusi Islam, tetapi berisi aneka informasi dan fasilitas yang memang dibutuhkan oleh umat Islam. Maka lengkaplah Internet menjadi salah satu media rujukan dan media dakwah Islam Indonesia.

Masuknya Internet dalam aspek kehidupan umat Islam mulai menggeser pemikiran-pemikiran lama. Menjadi santri kini tidak harus diidentikkan dengan sarung dan mengaji di langgar saja. Sekedar contoh, Masjid At-Tin di Kompleks Taman Mini misalnya, di dalamnya terdapat sebuah warnet dengan 10 buah komputer. Administrasi warnet tersebut berada di bawah Bidang Dakwah dan Pendidikan Yayasan At-Tin, sebagai pengelola Masjid tersebut.

Kekuatan milis sebagai media dakwah memang bukan hal yang sepele. Jika kita mengetikkan keyword “Islam” di YahooGroups.com, maka akan didapat tidak kurang dari 2000 milis yang membahas soal Islam dari berbagai bahasa dan negara. Bahkan kini tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia versi Departemen Agama pun dapat disimak di sebuah milis yang didirikan pada Agustus 2000 dan telah memiliki anggota sebanyak 1000 orang lebih.

Kebutuhan akan aktualisasi diri sebagai seorang muslim ternyata sama pentingnya dengan dakwah itu sendiri. Buktinya, pengguna webmail MyQuran.com tercatat lebih dari 40 ribu anggota. Sebagian dari para anggota tersebut juga aktif di forum diskusi online di situs tersebut. Situs MyQuran.com yang didirikan pada Juli 1999 merupakan situs portal informasi Islam. Jika rindu akan suara adzan dari Mekkah, maka MyQuran.com memiliki link yang dapat mengumandangkan adzan tersebut. Bahkan dapat juga diniikmati alunan pembacaan kitab suci Al-Qur’an lengkap 114 surah.

Dari beberapa contoh aplikasi Internet di atas, maka dapat ditarik satu pemahaman umum bahwa Internet memang merupakan media yang efektif bagi dakwah dan penyebaran informasi. Meskipun demikian Internet tidak akan bisa menggantian perang ulama, kiai dan ustadz. Demikian ditegaskan oleh Onno W. Purbo, praktisi Internet yang kerap memberikan dakwah Internet ke pesatren-pesantren. Menurut Onno, Internet hanyalah sebuah media komunikasi. “Justru seorang pendakwah dapat dengan mudah memiliki jutaan umat saat mereka menggunakan Internet,” ujar Onno. //**

Your Reply