BELAJAR BERFILSAFAT


.

Pemikiran filsafat Yunani mencapai puncaknya pada saat murid Plato bernama Aristoteles (384-322 SM). Ia mengatakan bahwa tugas utama ilmu pengetahuan ialah mencari penyebab-penyebab objek yang diselidiki. Kekurangan utama para filosof sebelumnya yang telah menyelidiki alam adalah bahwa mereka tidak memeriksa semua penyebab. Aristoteles berpendapat bahwa tiap-tiap kejadian mempunyai empat penyebab yang semuanya harus disebut, bila manusia hendak memahami proses kejadian segala sesuatu.
Menurut Bertens dalam buku Yanto dan Arifin (1975:144). Keempat penyebab itu adalah
1. Penyebab Material (Material Cause) ialah bahan dari mana benda dibuat. Misalnya kursi dibuat dari kayu.
2. Penyebab Formal (Formal Cause) ialah bentuk yang menyusun bahan. Misalnya bentuk kursi ditambah pada kayu, sehingga kayu menjadi sebuah kursi.
3. Penyebab Efisien (Effisien Cause) ialah sumber kejadian; faktor yang menjalankan kejadian. Misalnya tukang kayu yang membuat kursi.
4. Penyebab Final (Final Cause) inilah tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Misalnya kursi dibuat agar orang dapat duduk diatasnya.
Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada zaman modern adalah persoalan epistemologi atau teori pengetahuan. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat epistemology, maka dalam filsafat modern muncullah berbagai aliran filsafat yang memberikan jawaban berbeda bahkan saling bertentangan. Aliran-aliran tersebut antara lain:
1) Rasionalisme
Usaha manusia untuk memberikan suatu kedudukan yang “berdiri sendiri’, sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir “Renaissans” berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah abad dimulainya pemikiran-pemikiran ke filsafatan dalam artian yang sebenarnya. Semakin lama manusia maka semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal, sehingga tampaklah adanya keyakinan bahwa dengan kemampuan akal itu pasti dapat diterangkan segala macam persoalan, dapat dipahami segala macam permasalahan, dan dapat dipecahkan segala macam masalah kemanusiaan.
Aliran filsafat rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercayai adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal-lah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu syarat yang dituntut semua pengetahuan ilmiah.
2) Empirisme
Para penganut aliran empiris dalam berfilsafat bertolak belakang dengan para penganut aliran rasionalisme. Mereka menentang pendapat-pendapat para penganut rasionalisme yang didasarkan atas kepastian-kepastian yang bersifat apriori. Menurut pendapat penganut empirisme, metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori tetapi posteriori, yaitu metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang, terjadinya atau adanya kemudian.
Bagi penganut empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman disini adalah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman bathin yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui pengalaman.
3) Kritisme
Seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) telah melakukan usaha untuk menjembatani pandangan-pandangan yang saling bertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Kekurangan-kekurangan yang ditunjukkan oleh masing-masing pandangan tersebut hendak digantinya dengan pandangan yang memberikan keleluasan bagi bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi dan bagi adanya subyek yang mengetahui secara aktif mengelola bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi tersebut.
Kritisme adalah sebuah teori pengatahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dalam sifat rasionalisme dan empirisme dalam suatu hubungan yang seimbang, yang satu tidak terpisahkan dari yang lain. Menurut Kant, pengetahuan merupakan hasil terakhir yang diperoleh dengan adanya kerjasama di antara dua komponen, yaitu disatu pihak berupa bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi.
Selanjutnya, Kant mengatakan pengetahuan itu seharusnya sintesis a priori, yaitu bahwa pengetahuan bersumber dari rasio dan empiri yang sekaligus bersifat a priori dan a posteriori.
4) Idealisme
Bagi Hegel (1770-1831) pikiran adalh esensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobyektifkan. Alam adalah proses pemikiran yang memudar, yang adalah juga akal yang mutlak (absolute reason) yang mengekspresikan dirinya dalam bentuk luar.
5) Positivisme
Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dengan demikian, positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untu menelaah fakta. Dalam perkembangannya, ada beberapa positivistik, yaitu : positivisme sosial, positivisme evolusioner, positivisme kritis, dan positivisme logik. Positivisme sosial adalah penjabaran lebih lanjut kebutuhan manusia dan sejarah. Comte dalam studinya mengenai sejarah perkembangan alam pikir manusia menjelaskan bahwa matematika bukan ilmu, melainkan alat berfikir logik. Ia menjenjangkan perkembangan alam pikir manusia yaitu teologik, metafisik, dan positif. Bentham dan Mill menyatakan bahwa ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Mereka menolak otoritas apapun yang menyusupi ilmu. Positivisme evolusioner berangkat dari fisika dan biologi yang menggunakan doktrin evolusi biologis. Berangkat dari pemikiran tersebut, Spencer menganggap evolusi adalah proses dari homogen ke heterogen. Positivisme kritis atau empiriokritisme memandang bahwa sesuatu ( bisa berupa masyarakat ataupun kebudayaan) itu adalah serangkaian relasi inderawi, dan pemikiran kita adalah persepsi kita atau representasi dari sesuatu tersebut. Positivisme logik banyak dikemukakan oleh para pemikir dari neo-Kantian. Ia menolak segala bentuk etik transeden bahkan ia menyarankan adanya unifikasi ilmu dan mengganti konsep variabilitas menjadi konsep konfirmabilitas.
6) Fenomenologi
Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859 – 1838). Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Sebut saja para filsuf seperti Ernst Cassier (neo-Kantianisme), Mc.Taggart (idealisme), Fregge (logisisme), Dilthey (hermeneutika) Kierkergaard (filsafat eksistensial), Derida (poststrukturalisme)—semuanya sedikit banyak mendapat pengaruh dari fenomenologi. Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semu konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebis mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme epistimologi modern. Fenomenologi yang dipromosikan Husserl sebagai ilmu tanpa presuposisi. Ini bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi. Presuposisi yang menghantui filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme. Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi. Psikologi, sosiologi, antropologi, sampai arsitektur semuanya memperoleh nafas baru dengan munculnya fenomenologi. Penyamarataan ilmu-ilmu humaniora dengan ilmu-ilmu mendapatkan tentangan keras dari filsuf-filsuf neo-Kantian yang menginginkan adanya pemilahan, baik sacara metodologis, ontologis, dan epistimologis antara ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu alam. Para Kantian merasa bahwa manusia tidak semata-mata ditentukan oleh hukum maupun bertindak secara rasional semata (animal rationale), melainkan juga memiliki kekayaan batin (emosi, kehendak, disposisi) yang tidak dapat diukur begitu saja dengan model-model ilmu alam. Salah satu neo-Kantian dari Mahzab Marburg bernama Ernst Cassier mengungkapkan konsepnya tentang manusia sebagai animal symbolicum (makhluk simbolik) konsepnya ini menentang konsep manusia yang dideterminasi oleh daya-daya atau stimulan-stimulan eksternal seperti halnya benda-benda fisik. Cassier menolak pandangan naturalisme yang dianut ilmu-ilmu alam (ada realitas material eksternal yang berjalan secara deterministik dan independen dari subjek).
7) Strukturalisme
Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat. Pertama, strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan, dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistic yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Di sini ilmu-ilmu kemanusiaan dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang dalam terminology Duilthey disebut Geisteswissenchaftten yang dibedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam atau Naturalwissenchaften. Kedua, strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat.
Para strukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme linguistic dalam berfilsafat bereaksi terhadap aliran filsafat fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat manusia dari sudut pandangan yang subjektif. Para penganut aliran filsafat strukturalisme ini memiliki corak beragam, namun demikian mereka memiliki kesamaan, yaitu penolakan terhadap prioritas kesadaran.
Postmodernisme
Pada abad ke-20 ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam dunia praktis cukup besar, yaitu aliran filsafat pragmatism. Seorang tokoh pragmatism yaitu Willen James (1842-1910) membedakan dua macam bentuk pengetahuan, pertama; pengetahuan yang langsung diperoleh dengan jalan pengamatan. Kedua; merupakan pengetahuan yang tidak langsung diperoleh dengan melalui pengertian (Delfgaauw, 1988: 62).
Postmodernisme sebagi trend dari suatu pemikiran yang sangat popular pada penghujung abad ke-20 ini merambah berbagai bidang dan disiplin ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan. Istilah “Postmodern” telah digunakan dalam demikian banyak bidang dengan hiruk pikuk, yang merupakan reaksi terhadap kegagalan modernism.
Jurgen Habermas adalah filosof abad ke-20 dapat dikategorikan sebagai filosof postmodernisme, namun ia juga tokoh utama mazhab Frankfurt atau teori Kritis.
9) Non-Aliran
Selain dari filosof-filosof yang termasuk aliran-aliran tersebut di atas, ada beberapa filosof dalam filsafat barat yang berpengaruh dalam dunia filsafat dan ilmu pengetahuan, di antaranya Kartl Raimund Popper.
Filosof berikutnya adalah Paul kartl Feyeraband, ia terkenal dengan istilah anarkisme epistemologis, yang kemudian dipertentangkan dengan anarkisme politik atau religious.
________________________________________
. PENGERTIAN FENOMENOLOGI
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.
Menurut Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar dan dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada saya sebagai subjek, seperti akan kita lihat lagi. Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri.
“fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita, realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.

B. SEJARAH FENOMENOLOGI
Fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad ke-20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakan, yang menjadi dasar pengetahuan empiris (penampakan yang diterima secara manusiawi). Istilah fenomenologi itu sendiri diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert, pengikut Christian Wolff. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya, seperti halnya Johann Gottlieb Fichte dan G. W. F. Hegel. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi desktiptif. Dari sinilah awalnya Edmund Husserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.
Istilah fenomenologi masih banyak digunakan sesekali, namun terbatas hanya pada “fenomena” saja, sebagai sumber dari pengetahuan. Franz Berntano adalah yang meletakan dasar fenomenologi lebih tegas lagi. Dalam tulisannya yang berjudul Psychology from an Empirical Standpoint (1874), Bretano mendefiniskan fenomena sebagai sesuatu yang terjadi dalam pikiran, sedangkan fenomena mental adalah tindakan yang dilakukan secara sadar. Ia kemudian membedakan antara fenomena mental dengan fenomena fisik (objek atau persepsi eksternal yang dimulai dari warna dan bentuk). Jadi bagi Brentani, fenomena fisik ada karena “kesengajaan”, dalam tindakan sadar (intentional inexistance).
Pemikian Brentano ini menimbulkan pertanyaan ontologi berkaitan dengan “apa yang ada dalam pikiran”, dan “apakah objek fisik hanya ada dalam pikiran” ?. Walaupun demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa fenomena adalah sesuatu yang kita sadari, objek dan kejadian disekitar kita, orang lain dan diri kita sendiri, sebagai refleksi dari pengalaman sadar kita. Dalam pengertian yang lebih lanjut lagi, fenomena adalah sesuatu yang masuk ke dalam “kesadaran” kita, baik dalam bentuk persepsi, khayalan, keinginan, atau pikiran. Definisi fenomena dari Brentano yang lebih luas ini (bila dibandingkan dengan definisi fenomena dari immanuel kant), yang kemudian mengantarkan kita pada fenomenologi yang lebih hakiki.
Pada masa selanjutnya, selain Brentano dan Willuan James dengan Principles of Psychology (1891), berkembang pula teori semantik atau logika dari Bernard Bolzano dan Edmund Husserl (logika modern), termasuk Gottlob Frege. Dalam Theory of Science (1835), Bolzano membedakan antara “ide subjektif” dengan “ide objektif atau ambaran” (Vorstullungen). Pemikirannya ini merupakan kritikan langsung terhadap Kant dan aliran filsafat yang tidak mampu membedakan antara keduanya. Dengan demikian pada saat itu berkembang dua kutub ilmu yang saling bertolak belakang. Di satu sisi logika yang mempelajari ide objektif, seperti proposisi yang saat ini kita kenal dengan pengetahuan objektif.
Fenomenologi bagi Husserl adalah proses kesadaran yang disengaja dengan noesis dan sedangkan untuk noema untuk isi dari kesadaran itu (neoaw yang berarti merasa, berpikir, bermaksud, dan kata nous berarti pikiran). Noema dari tindakan sadar disebut Husserl sebagai makna idela, dan objek sebagaimana tampak. Fenomena (objek sebagaimana tampak) adalah noema. Interpretasi Husserl ini menjadi dasar teori Husserl selanjutnya mengenai teori kesengajaan (apakah noema salah satu aspek dari objek, ataukah media dari tujuan).
Singkatnya, fenomenologi bagi Husserl adalah gabungan antara psikologi dan logika. Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi, untuk menjelaskan dan menganalisis tipe-tipe aktivitas mental subjektif, pengalaman, dan tindakan sadar. Jadi fenomenologi adalah bentuk lain dari logika. Teori tentang makna (logika semantik) menjelaskan dan menganalisis isi objektif dari kesadaran, seperti ide, konsep, gambaran dan proposisi. Singkatnya, makna ideal dari beragam tipe yang disajikan, sebagai isi yang disengaja, atau makna noematik dari beragam tipe pengalaman. Isi tersebut dapat terdiri dari tindakan sadar yang berbeda-beda, dengan kata lain objektif dan bermakna ideal.

C. SEJARAH PERKEMBANGAN FENOMENOLOGI
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang berarti “menampak”. Phaimenon merujuk pada “yang menampak”. Fenomena tiada lain adalah fakta yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Jadi suatu objek itu ada didalam relasi dengan kesadaran. Fenomena bukanlah dirinya seperti tampak secara kasat mata, melainkan justru ada didepan kesadaran, dan disajikan dengan kesadaran pula. Berkaitan dengan hal ini, maka fenomenologi merefleksikan pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara intensif berhubungan dengan suatu objek.
Menurut The Oxford English Dictionary, yang dimaksud fenomenologi adalah (a) the science of phenomena as distinct from being (ontology), (b) division of any science which describes and classifies its phenomena. Jadi fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain, fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak didepan kita dan bagaimana penampakannya.
Tujuan fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengkontruksi makna dan konsep-konsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas. Intersubjektivitas karena pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Walaupun makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya dan aktivitas yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain didalamnya.
Fenomenologi sangat menarik perhatian para peneliti psikologi di awal abad 20. psikologi eksistensi atau existential phenomenological psychology, demikian psikologi menyebutnya, berembang menjadi sub disiplin tersendiri dalam psikologi, dipelopori oleh Frankl, May dan Perl. Sub disiplin ini memfokuskan pada pemahaman pengalaman manusia, dalam berbagai situasi. “Fidelity to the phenomenon as it is lived” atau kebenaran fenomena itu ada bersama dengan fenomena tersebut. Singkatnya fenomenologi berusaha untuk memahami fenomena (konteks kehidupan) melalui situasi tertentu.

D. TOKOH-TOKOH FENOMENOLOGI
1. Edmund Husserl (1859-1938)
Husserl lahir di kota Prosnitz, Moravia, suatu bagian dari kerajaan Austria. Dia berasal dari keluarga Yahudi, ayahnya adalah seorang pedagang pakaian. Husserl tertarik belajar matematika, fisika, dan filsafat, lebih spesifik dia juga mempelajari ilmu perbintangan dan ilmu optik. Pada 1886 dia mempelajari psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi. Di akhir hayatnya dia meninggal akibat pneumonia.
Filsuf kelahiran Austria ini justru besar dan menjadi milik Jerman. Dia di anggap sebagai bapak pergerakan filsafat fenomenologi. Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya. Lewat fenomenologi, Husserl hakikatnya adalah kritikus yang interpreter dengan menguraikan suatu fenomena yang dihadapi. Ilmu pengetahuan bagi Husserl dapat mengantarkan pada pengalaman-pengalaman baru yang eksklusif tersendiri secara subjektif transendental. Fenomenologi Husserl berikutnya menjadi reverensi bagi fenomenologi Heidegger, Sartre, Gadamer, Levinas, maupun Derrida.

2. Martin Heidegger
Martin Heidegger (lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana 1928. Ia mempengaruhi banyak filsuf lainnya, dan murid-muridnya termasuk Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Xavier Zubiri dan Karl Löwith. Maurice Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-Luc Nancy, dan Philippe Lacoue-Labarthe juga mempelajari tulisan-tulisannya dengan mendalam. Selain hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistentialisme, dekonstruksi, hermeneutika dan pasca-modernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat Barat dari pertanyaan-pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan ontologis, artinya, pertanyaan-pertanyaan menyangkut makna keberadaan, atau apa artinya bagi manusia untuk berada. Heidegger juga merupakan anggota akademik yang penting dari Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei.
Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Secara sederhana, kaum fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoretis abstrak. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Heidegger adalah mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi seorang fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang "Ada" (atau apa artinya "berada"). Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) dicirikan sebagai sebuah ontologi fenomenologis. Gagasan tentang Ada berasal dari Parmenides dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama dari filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika dari Plato hingga Descartes, dan belakangan ini pada Masa Pencerahan. Heidegger berusaha mendasarkan Ada di dalam waktu, dan dengan demikian menemukan hakikat atau makna yang sesungguhnya dalam artian kemampuannya untuk kita pahami.
Demikianlah Heidegger memulai di mana Ada itu dimulai, yakni di dalam filsafat Yunani, membangkitkan kembali suatu masalah yang telah lenyap dan yang kurang dihargai dalam filsafat masa kini. Upaya besar Heidegger adalah menangani kembali gagasan Plato dengan serius, dan pada saat yang sama menggoyahkan seluruh dunia Platonis dengan menantang saripati Platonisme - memperlakukan Ada bukan sebagai sesuatu yang nirwaktu dan transenden, melainkan sebagai yang imanen (selalu hadir) dalam waktu dan sejarah. Hal ini yang mengakibatkan kaum Platonis seperti George Grant menghargai kecemerlangan Heidegger sebagai seorang pemikir meskipun mereka tidak setuju dengan analisisnya tentang Ada dan konsepsinya tentang gagasan Platoniknya.
Meskipun Heidegger adalah seorang pemikir yang luar biasa kreatif dan asli, dia juga meminjam banyak dari pemikiran Friedrich Nietzche dan Soren Kierkegaard. Heidegger dapat dibandingkan dengan Aristoteles yang menggunakan dialog Plato dan secara sistematis menghadirkannya sebagai satu bentuk gagasan. Bagitu juga Heidegger mengambil intisari pemikiran Nietzsche dari sebuah fragmen yang tak terbit dan menafsirkannya sebagai bentuk puncak metafisika barat. Karya Heidegger berupa transkrip perkuliahan selama 1936 tentang Nietzsche’s Will to Power as Art kurang bernilai akademis dibandingkan karyanya sendiri yang lebih asli. Konsep Heidegger tentang kecemasan angst dan das sein berasal dari konsep Kierkegaard tentang kecemasan, pentingnya relasi subjektivitas dengan kebenaran, eksistensi di hadapan kematian, kesementaraan eksistensi, dan pentingnya afirmasi diri dari Ada seseorang di dalam dunia.
Martin Heidegger dianggap sebagai salah satu filsuf terbesar dari abad 20. Arti pentingnya hanya dapat disaingi oleh Ludwig Wittgenstein. Gagasannya merasuki berbagai bidang penelitian yang luas. Karena diskusi Heidegger tentang ontologi maka dia kerap dianggap salah satu pendiri eksistensialisme dan gagasannya kerap mewarnai banyak karya besar filsafat seperti karya Sartre yang mengadopsinya banyak gagasannya, meskipun Heidegger bersikeras bahwa Sartre salah memahami gagasannya. Gagasannya diterima di seluruh Jerman, Perancis, dan Jepang hingga banyak pengikut di Amerka Utara sejak 1970-an. Meskipun demikian, gagasannya dianggap sebagai tak bernilai oleh beberapa pemikir kontemporer seperti mereka yang di dalam Lingkaran Wina,Theodor Adorno, dan filsuf Inggris Bertrand Russell dan Alfred Ayer.
Penolakan Heidegger akan konsep seperti pembedaan fakta dan nilai, penambahan komponen etis pada filsafatnya, kekritisannya terhadap sains dan teknologi modern, dan klaimnya akan kesalahpahaman akan pikirannya kerap membingungkan para filsuf. Serangan terhadap gagasannya nampak menjadi satu-satunya kemungkinan yang dapat dilakukan, terlebih ditambah dengan tingkah laku pribadinya yang tampak secara moral dan politik ambigu.

3. Jean-Paul Sartre
Lahir di Paris, Perancis (21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre).
Pada tahun 1964 ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang.
Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.
Jean Paul Sartre salah seorang tokoh fenomenologi dari Francis, belajar fenomenologi. Ia menulis dua artikel fenomenologi Husserl yang ditemukan dalam konsep Ideen I. Artikel yang pertama adalah ‘Ego Transendental’ (La transcendence de I ‘ego’) tahun 1936. Sartre setuju dengan komponen esensial fenomenologi Husserl, misalnya tentang kesadaran, akan tetapi Sartre menolak eksistensial ego transcendental pada kesadaran dan manifestasi dirinya sendiri didalam kesadaran. Dalam pandangan Sartre, ‘tidak ada ego dalam kesadaran’ yang ada hanya ‘ego bagi kesadaran’.

4. Maurice Maeleau-Ponty
Menurut Merleau-Ponty, asal usul fenomenologi dimulai dari Hegel (1770-1831) melalui Marxisme. Hegel memperkenalkan usaha yang pertama untuk menyelidiki wilayah irasional dan mengintegrasikannya ke dalam reason. Menurut Hegel, reason lebih berpengaruh dibanding dengan intellect. Reason ini menunjukan bahwa dirinya sendiri respek terhadap pelbagai sikap psikis berbeda yang terdapat pada manusia, terutama dalam peradaban dan metode berfikir serta pelbagai kemungkinan sejarah (contingency of history). Reason tidak mengabaikan kewajibannya menemukan kesatuan dalam keberagaman dan mengerti segala sesuatu, serta tentu saja, menempatkan sesuatu dalam kebenarannya sendiri.
Gerakan fenomenologi sendiri mulai berkembang di Jerman pada awal abad ke-20 dengan pelopornya adalah Edmund Husserl. Istilah ‘gerakan’ tidak mengacu kepada tindakan politik, sosial, atau seni (meaningful action), tetapi lebih merupakan istilah yang lebih dekat dengan konsep ‘aliran’ atau ‘mazhab’. Kata ‘gerakan’ menitikberatkan pada situasi dimana fenomenologi sebagai sebuah aliran filsafat tidak statis tetapi dinamis, senantiasa berubah dan berkembang sesuai dengan konteks dan kebutuhan zaman.

5. Max Weber
Max Weber (1864 - 1920) mengembangkan pengertian verstehen ini di dalam ilmu sosial dan sampai pada kesimpulan bahwa untuk meneliti persoalan-persoalan manusia perlu metode yang tepat bagi tataran makna (sebagai lawan dari tataran penampakan yang selama ini dipakai ilmu alam dan aliran positivisme). Menurut Weber, fungsi utama ilmu sosial adalah melakukan interpretasi terhadap persoalan-persoalan sosial. Dari sinilah muncul interpretivisme dan Weber menegaskan bahwa seorang ilmuan sosial bertugas memahami makna subjektif dari aktivitas sosial. Istilah dari Weber inilah yang kemudian sering dipakai untuk membuat dua kutub: positivisme dan interpretivisme. Lihat di sini tentang pembahasan sekilas keduanya.
Pandangan dasar Dilthey menganggap bahwa manusia adalah mahluk yang sepanjang hidupnya meng-eksternal-kan apa yang terjadi dalam proses internal pikirannya (misalnya, pikiran seorang penulis) dengan jalan menciptakan artefak-artefak budaya yang punya ciri-ciri objektif atau ciri kebendaan (misalnya, sebuah buku). Proses mengeksternalkan apa yang internal untuk menjadi sebuah objek berciri kebendaan ini dikenal sebagai "objektifikasi". Sebab itulah pandangan Dilthey ini sering disebut pandangan yang idealis-objektif. Semua institusi sosial (misalnya perpustakaan), karya seni, literatur, bahasa, religi, dan sebagainya, adalah hasil dari proses objektifikasi, dan inilah yang harus dikaji oleh seorang ilmuwan sosial. Dilthey juga percaya bahwa "kehidupan" sebenarnya bukanlah kehidupan biologis melainkan totalitas sejarah pengalaman umat manusia, sebab itulah ilmu pasti-alam tidak dapat mengkaji masalah sosial-budaya.
Untuk menerapkan prinsip verstehen dalam penelitian, Dilthey memperkenalkan metode hermenetik (hermeneutics). Dengan metode ini, Dilthey membuat perbedaan yang tegas antara "menjelaskan" dan "memahami" untuk memisahkan ilmu pasti-alam dari ilmu sosial-budaya. Ilmu pasti-alam adalah ilmu yang bertujuan menjelaskan aspek sebab-akibat dari objek alamiah yang diteliti, sedangkan ilmu sosial-budaya berupaya mengembangkan pemahaman lewat empati kepada hal yang diteliti. Selain itu, "memahami" dalam hermenetika harus didasarkan pada dua hal, yaitu pengetahuan tentang hal yang diteliti dan pengertian yang mendalam tentang dunia yang lebih luas. Ajaran Dilthey ini antara lain dipertegas oleh Friederich Schleiermacher (1768-1834) yang mengusulkan apa yang disebut lingkaran hermenetik (hermeneutic circle) dengan menyatakan bahwa keseluruhan dunia sosial (social whole) harus dipahami bersama-sama dengan satuan-satuannya (parts), dan sebaliknya. Sebuah kalimat harus dipahami dengan memahami setiap kata-kata di dalamnya, sedemikian rupa sehingga setiap kata dapat dipahami dengan memahami kalimatnya. Fenomena sosial juga dapat diberlakukan seperti kita memahami kalimat; keseluruhan fenomena itu harus dipahami lewat pemahaman bagian-bagiannya, dan sebaliknya.
Max weber Lahir di Erfrurt 1864. Ia menyelesaikan pendidikannya dibidang hokum, ekonomi, sejarah , filsafat dan teologi.Ia termasuk yang ikut menyebarkan ilmu sosiologi yang dianggap masih muda di waktu itu. Max Weber, walaupun menguasai bidang politik namun ia tidak terlibat dalam aksi politik. Ia mengarang buku Le Savant et le politique ( ilmuan dan politik ).
Weber menyatakan bahwa rasionalisasi kehidupan sosial menjadi cirri yang paling signifikan pada masyarakat modern.Menurutnya rasionalisasi menyangkut tiga tipe besar aktifitas manusia yaitu :
Tindakan tradisional yang berkaitan dengan adat-iastiadat.Aktivitas sehari-hari seperti makan menggunakan garpu atau cara member salam kepada teman termasuk pada tindakan tradisional.
Tindakan afektif yang digerakkan oleh nafsu.
 Tindakan rasional yang merupakan alat ( instrument), ditujukan kearah nilai yang bermanfaat dan berimplikasi pada kesesuaian antara tujuan dengan cara.

Menurutnya tindakan rasional menjadi ciri masyarakat modern yaitu dirinya sebagai pengusaha kapitalis , ilmuan, konsumen atau pegawai yang bertindak sesuai dengan logika tersebut. Aktivititas manusia merupakan kombinasi dari berbagai tindakan. Jarang sekali aktivitas sosial yang berorientasi pada salah satu jenis tindakan saja. Jenis-jenis aktivitas itu hanya berupa tipe-tipe murni yang dibangun untuk tujuan risert sosiologi.Aktivitas riil itu kurang lebih sebanding dan lebih sering berkombinasi.

Dalam econimie et societe, ia membedakan tiga tipe dominasi :
Dominasi tradisional yang didasarkan pada legitimasi karena cirri sakralitas yang melekat kepadanya.contohnya kekuasaan para tuan tanah.
Dominasi kharismatik adalah dominasi suatu perorangan/personalitas tertentu dan dikaruniai aura khusus.Pemimpin kharismatik membesarkan kekuatan untuk menyakinkan dan kapasitasnya untuk mengumpulkan dan memobilisasi banyak orang. Ketaatan pada pemimpin semacam ini terkait dengan factor-faktor emosional yang berhasil dibangkitkan, dipertahankan dan dikuasainya.
 Dominasi “legal-rasional “ yang bertumpu pada hokum formal dan impersonal. Dominasi ini terkait dengan fungsi, dan bukan pada person. Kekuasaan dalam organisasi modern dijustifikasi lewat kompetensi, rasionalitas d ijustifikasi lewat kompetensi, rasionalitas dan bukan pada kekuatan sihir. Kepatuhan pada tipe ini didasarkan pada sebuah kitab hukum.


BAB III
SIMPULAN

Fenomenologi adalah metode filosofis yang berkembang pada tahun-tahun pertama abad ke-20 oleh Edmund Husserl dan lingkaran pengikutnya di Universitas Göttingen dan Munich di Jerman. Setelah itu, tema-tema fenomenologis diangkat oleh para filsuf di Perancis, Amerika, dan bagian dunia lainnya, seringkali dalam konteks-konteks yang jauh dari karya Husserl.

“Fenomenologi” berasal dari kata Yunani phainómenon, yang berarti “yang tampak,” dan lógos, berarti “studi.” Dalam konsepsi Husserl, fenomenologi terutama berurusan dengan pembentukan struktur-struktur kesadaran, dan fenomena yang tampak dalam tindakan-tindakan kesadaran, obyek-obyek refleksi sistematis dan analisis.
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata.
Dalam pendekatan sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan pendekatan filosofis ini.
Lahirnya aliran psikologi Fenomeologi sangat dipengaruhi oleh filsafat Fenomenologi. Tokoh filsafat fenomenologi yang terkenal adalah Edmund Husserl (1859-1938). Fenomenologi dalam arti luas adalah filsafat yang berpegang pada motto Husserl, ”kembali kepada berbagai hal itu sendiri”, yang dapat diartikan sebagai deskripsi yang bisa dipercaya dan tak menyimpang tentang kesegeraan kesadaran.
Fenomenologi merupakan tawaran baru dalam mempelajari realita yang dikemukan Edmund Husserl sebagai jawaban dari pernyataan Immanuel Kant yang menyatakan tidak mungkin untuk memahami esensi dari fenomena (noumena). Dan metodologi yang dikemukakan oleh Edmund Husserl untuk memahami esensi dari fenomena adalah dengan cara membiarkan fenomena tersebut sebagai penuntun tanpa adanya faktor yang melakukan intervensi terhadap fenomena tersebut. Dan dengan membiarkan fenomena tersebut Pure dari faktor-faktor yang mengintervensinya, maka dapat tersaring dari fenomena-fenomena tersebut eidos atau intisari sejatinya.





DAFTAR PUSTAKA

Kuswarno, Engkus. Fenomenologi. Bandung : Widya Padjajaran. 2009.
http://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi
http://wangmuba.com/2009/04/20/filsafat-ilmu-dalam-psikologi-fenomenologi/
http://transformatif.blogspot.com/2007/08/psikologitransformatif-fenomenologi.html
http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2009/06/fenomenologi-sebagai-sebuah-metode.html
http://fenomenologiarsitektur.wordpress.com/2009/01/09/mengenal-kunci-kunci-fenomenologi-husserl-menurut-hamersma-1983/
http://qienz.blogspot.com/2009/02/fenomenologi-edmund-husserl-mencari.html
http://sarwono.staff.uns.ac.id/2009/03/06/fenomenologi-dan-hermeneutika-4/
http://veggy.wetpaint.com/page/F

Your Reply