Archive for Juni 2010

KONSEP PENYIARAN AGAMA-AGAMA


.

Pengertian
Pertama, agama sebagai suatu doktrin atau ajaran yang termaktub dalam teks-teks kitab suci. Kedua, agama sebagai aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah.“dakwah” dalam Islam dan misi.
Penyiaran agama (tabligh) sekaligus bagian dari bentuk dakwah pada dasarnya adalah suatu usaha yang didasari tujuan luhur, yakni bagian dari mengajak orang lain menuju keselamatan Islam. Karenanya tidak heran apabila ajaran Islam sangat menganjurkan kegiatan dakwah ini. Dalam Kristen, manusia itu harus diselamatkan (exlecia nulla salus), tindak penyelamatan ini merupakan titah Yesus yang harus dilaksanakan kapan dan dimana saja berada, yang kemudian melahirkan konsep missionary (orang-orang yang di utus menyebarka injil).
Jika di Indonesia saja terdapat sekurang-kurangnya lima agama besar ditambah dengan berbagai aliran kebatinan atau kepercayaan. Maka sebanyak dan seruwet itulah proses penyiaran agama yang terjadi. Jangankan lima agama, satu agama saja dengan berbagai aliran, mazhab serta sekte telah melahirkan konsep dan paradigma penyiaran yang berbeda-beda.
Atas dasar tersebut, mengetahui dan menyikapi paradigma penyiaran agama-agama adalah suatu kemestian bagi masyarakat yang hidup di tengah-tengah pluralitas agama, lebih-lebih para dai, organisasi kemasyarakatan (ormas) pengambil kebijakan.

Konsep Dasar Penyiaran Agama Perspektif Katolik
Umat Kristen adalah menganut agama terbesar di dunia sekitar 2 miliar penganut dan terbagi ke dalam lebih 20.000 sekte atau gereja . Umat Kristen percaya bahwa Yesus Kristus adalah putra Allah, sungguh-sungguh manusia dan tanpa dosa. Prinsip ini, melandasi ajaran iman yang dipercayai selama berabad-abad. Untuk lebih lengkapnya ajaran iman (rukun iman) ini dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama,Trinita adalah satu Allah tiga pribadi, Allah Bapak, Allah Putra dan Allah Roh Kudus. Kepercayaan pada trinitas sangat memperkuat iman Kristen dan secara implicit terdapat dalam kredeo Nicea.
Kedua, penjelmaan menunjuk pada Allah lahir menjadi daging dalam diri Yesus dan menekankan bahwa Yesus benar-benar Yesus dan juga benar-benar manusia.

Ketiga, penebusan dosa merupakan rekonsiliasi antara Allah dengan manusia yang di dapatkan kematian dan kebangkitan Yesus. Yesus adalah teladan agung bagi manusia yang mengorbankan jiwa supaya dosa dunia dapat diampuni. Segala sesuatu disempurnakan oleh kematian dam kebangkitan Yesus.
Secara teologis, teks-teks dalam berbagai kitab, baik perjanjian lama, perjanjian baru dan kitab-kitab sesudahnya dapat ditelusuri beberapa ayat yang mengandung anjuran dan perintah untuk menyebarkan agama. Teks-teks dalam kitab ini menjadi salah satu landasan filosofis penyiaran Kristen, khususnya katolik. Misalnya, dalam sabda Tuhan yang berbunyi: “persiapkanlah dipadang guruan jalan untuk Tuhan, luruskan dipadang belantara jalan raya bagi Allah kita! Setiap lembah harus ditutup dan setiap gunung dan bukti diratakan.” (Yesaya, 40: 3-4). Dan berbagai anjuran mengenai titah Yesus agar menyampaikan kabar gembira sebagai konsekuensi keimanan dan menyebarkan hingga ke Nusantara.
Gereja katolik pertama didirikan di Maluku pada tahun 1522. Pada missinaris periode ini kebanyakan dari masyarakat Yesus (the society of yesus). Bahkan Xavier, seperti dikutip Alwi Shihab , menulis dan mengatakan bahwa, “jika setiap tahunnya selusin pendeta saja datang ke sini, maka gerakan Islam tidak akan dapat bertahan lama, dan semua penduduk kepulauan ini akan menjadi pengikut ajaran Kristen.”Mungkin ini ramalan yang pernah menghebohkan dan membuat umat Islam beraksi, bahwa pada lima puluh tahun ke depan. Indonesia akan menjadi lautan nasrani.
Setidak-tidaknya ada dua hal seperti, dikatakan Franz Magnis Suseno SJ yang paling esensial dalam membisarakan filosofis penyiaran agama menurut katolik, kedua tersebut antara lain:
Pertama, Yesus mengutus murid-muridnya kepada jemaat. Dalam semua empat injil (Mathius, Markus, Lucas dan Yohanes) untuk sebagian memakai tradisi-tradisi yang tidak tergantung satu sama lain. Yesus yang mengutus murid-muridnya menjadi saksi kebangkitan Yesus untuk membawa manusia kepada kepercayaan.
Kedua, khotbah-khotbah Paus Yohanes Paus ll. Dalam setiap kesempatan, ajakan-ajakan menciptakan perdamaian serta membebaskan manusia dari segala bentuk penjajahan sering menjadi tema sentral dalam khotbah-khotbahnya. Paus adalah rasul yang masih hidup hingga sekarang.

Konsep Penyiaran Agama Persektif Protestan
Misi Kristen masuk ke Indonesia hampir bebarengan dengan proses kolonialisasi orang-orang eropa. Hal ini sedikitnya memperoleh kekuatan spirit dan bantuan materi dari penguasa dalam langkah-langkah penyebaran agama. Misi Kristen, ketika datang ke Indonesia, dilakukan dengan berbagai terobosan-tetobosan baru dan boleh dikata cukup elegan, terbuka serta canggih. Di jawa misalnya, agama Kristen masuk melalui penetrasi budaya jawa. Sikap seperti ini tidak mungkin dilakukan tanpa sikap toleran terhadap budaya setempat,
Dalam perspektif protestan, sebagai agama misi seperti dikatakan Einer M. Sitompul menekankan pada aspek pemberitaan dalam arti “memberitakan kabar baik” dan pusat penyiaran adalah injil (gospel) yang pada intinya adalah menyampaikan kabar baik kepada semua orang. Misi dalam pandangan protestan muncul karena munculnya kezaliman dan penyelewengan-penyelewengan kemanusiaan. Efek dari penampakaan penyelewengan tersebut kemudian muncul keprihatinaan-keprihatinan; penindasan social (pengangguran masal dan pelacuran), masalah ekonomi (kemiskinan dan pemutusan hubungan kerja), politik sampai penyelewengan penyembahan berhala.
Ada pengaruh kuat jika kita berbicara model baru misi Kristen. Alan bailyis, pemuka Kristen dari gereja baptis di Inggris mengemukakan perselisihan dua kelompok dalam Kristen; aliran Evangeles dan aliran Ecumenis sangat memprihatinkan. Yang pertama bersifat eksklusifistik dan yang kedua lebih bersifat inklusif.
Perselisihan tersebut timbul akibat perebedaan orientasi “misi” dan “interpretasi”. Bagi Evangelis, misi Kristen terutama ditujukan kepada individu dan hubungan kepada Tuhan. Tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan imannya dan mereka yang masih ada “di luar” untuk ikut serta bergabung.
Hal senada diungkapkan Einar M. Sitompul yang mengatakan bahwa tekanan misionaris adalah pada penyiaran. Sedangkan bertambahnya jumlah penganutnya sebenarnya bukan tujuan melainkan hasil dari penyiaran (jika diterima dan diakui). Kuantitas umat bukanlah tujuan idea, karena tujuan umat adalah iman dengan sepenuh hati.
Misi bagi umat Kristen adalah merupakan tugas suci (holy burden) dan great commission (perintah agung) memenuhi perintah Tuhan, “Pergilah dan ciptakanlah pengikut dari segala bangsa, lakukan pentahbisan kepada mereka atas nama bapak dan anak serta roh kudus .” Ini adalah ayat yang acuan proses kristenisasi dan conversi dalam paradigma lama Kristen.
Atau seperti dikatakan Paul Knitter, seperti dikutip Alwi Shihab pengkristenan bukanlah tujuan akhir gereja, tapi yang lebih penting adalah upaya meningkatkan derajat manusia, yaitu lebih dekat pada Tuhan, atau seperti terungkap dalam Alquran adalah untuk bertemu sang khalik.
Ada diantara mereka yang menyebarkan Injil dengan cara berjualan jam tangan dan perhiasan seperti Johanes Ende, dan mengunjungi orang-orang jawa diperkampungan. Selain itu, penginjilan juga mendapat dukungan dari pada tukang “ngelmu” yang mencari secercah curahan dari agama.
Semangat menyala pada para missioner adalah iman kristiani. Ungkapan “Bumi itu adalah panggung yang mempertontonkan kemuliaan Allah” adalah spirit dan tenaga dalam semangat mengabdi.
Dari paparan diatas, penulis melihat setidaknya ada beberapa metode dan strategi misi Kristen yang sangat menonjol, khususnya pada skhir abad-19 yang oleh Karel Antony Steenbrink disbut sebagai abad misi, cara-cara tersebut di antaranya:
Pertama, fokus operasional wilayah misi adalah wilayah yang masih “gadis” atau wilayah “pagan” yang belum dimasuki dakwah agama lain.
Kedua, aadanya dukungan baik langsung maupun tidak langsung dari kolonia Belanda. Perkataan Raja William l pada tahun 1810 seperti dikutip Alwi Shihab yang mengeluarkan dekrit yang mengatakan bahwa para missionaris akan diutus ke Indonesia oleh pemerintah (baca pemerintah Hindia Belanda).
Ketiga, bahwa dalam dalam melaksanakan panggilan Yesus tersebut, para misionaris menunjukkan keikhlasan yang mengagumkan. Mereka rela mengorbankan harta bahwa nyawa dan keluarga sekalipun.
Secara vertical, umat Kristen jangan hanya menjadi Kristen KTP (kartu tanda penduduk) atau jadi Kristen “mingguan” (dating kegereja hanya pada hari minggu saja), tanpa mewujudkan idealisme Kristen dan menghayati secara sungguh-sungguh. Secara horizontal, umat Kristen merasa terpanggil untuk mengambil bagian dalam mengatasi kesulitan bangsa Indonesia, kendati tak dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Mengintensitaskan perhatian kepada keluarga. Mulai pembinaan pra nikah hingga mengikuti retreat pasutri (kegiatan rohani pasangan suami istri). Pembinaan jamaat mulai balita hingga remaja/dewasa terus-menerus diintensifkan sampai benar-benar memiliki moral dan sikap beragam yang kokoh.

Konsep Penyiaran Agama Perspektif Budha
Agama Budha atau Budhisme bukanlah agama baru dalam sejarah Indonesia, tetapi sudah lama ada dan berkembang, bahkan ditempat asalnya India, Budhisme telah berumur lebih dari 2500 tahun dengan 400 juta penganutnya yang terbesar di seluruh dunia. Pemimpin agama ini adalah Siddharta Gautama.
Budhisme memiliki dua jenis; Theravada dan Mahayana. Theravada artinya “jalan bagi kaum tua-tua.” Ajarannya didasarkan pada kitab Pali Canon yang dibagi menjadi tiga bagian; Vinaya Pitaka (tentang sangha); Sutta Vitaka (berisi ceramah-ceramah Budha); dan Abhimdhamma Pitaka (berisis analisis ajaran Budha).
Sementara Mahayana (kendaraan besar) memandang Shidarta Gautama adalah manusia yang memilki kelebihan. Mereka percaya bahwa budha ada dan ada dimana-mana. Selain para Canon, kitab yang menjadi sandaran pengikutnya adalah “sabda budha” yaitu n Vimlakirti Sutra dan Tibetan Book of the Dead. Mahayana memiliki tiga prinsip utama. Prinsip termasuk adalah; pertama, orang tidak boleh bergantung pada usaha mereka sendiri untuk mencapai nirvana. Tetapi, mereka dibantu menuju penceramah oleh Bodhisattva yang sudah memperoleh pencerahan.; kedua, apa pun dapat digunakan sebagai kendaraan menuju koan (pertanyaan yang tak ada jawabannya) tak terkecuali menebang pohon atau mengalirkan air; ketiga, sangha yang dapat membantu mencapai pencerahan. Sangha adalah komunitas para rahib yang mengikuti pengajaran budha. Penganut ajaran Mahayana terbesar di Negara-negara, seperti Jepang, Korea, Tibet, Cina dan Nepal.
Sementara yang dimaksud aliran lima atau “pancasila Budha” adalah sebagai berikut: Pertama, mereka tidak boleh membunuh atau merusak benda-benda hidup; Kedua, tidak boleh mengambil barang yang tidak diberikan kepadanya; Ketiga, mereka tidak boleh menyalahgunakan seks; Keempat, tidak boleh menggunakan kata-kata yang tidak pantas, seperti berbohong, menyebar rumor da gosip; dan Kelima, tidak boleh menggunakan obat terlarang dan alcohol, karena akan menggangu pikir dan penalaran.
Jika melihat perkembangan sejarah agama Budha, maka dapat dilihat betapa upaya mewujudkan dan menjaga kelas tarian bahkan kerukunan umat beragama, berlangsungan sebagaimana diamanatkan Sang Budha kepada Upali. Upaya melaksanakan kehidupan beragama dari sang Budha itu kemudian dilaksanakan Empu Tantular pada masa Majapahit, sehingga raja Asoka dan Hayam Wuruk berhasil membangun kerajaa besar, makmur dan sejahtera.

Gerakan Dakwah Etnis Tionghoa
Menurut perkiraan, jumlah orang tionghua lebih dari satu juta jiwa dan banyak dari mereka yang sudah muslim. Menurut Junus Jahja mereka yang memeluk Islam sangat kecil, yaitu sekitar 30.000-an orang. Mereka yang masuk Islam terdiri dari berbagai kalangan dan latar belakang profesi. Mulai generasi muda yang berpendidikan SMP, SMA, Mahasiswa, karyawan muda, akademisi maupun pengusaha. Mereka semakin akrab dengan masyarakat pribumi yang pada akhirnya ingin mengetahui apa itu Islam.
Untuk lebih mengenal gerakan dakwah etnis Tionghua di Indonesia, telah tercatat dalam sejarah masa lampau. Hamper enam abad yang lalu, seperti ditulis Hembing Wijayakusuma tercatat seorang muslim dari Yunan bernama Tjen He, ia pernah singgah dalam pelayaran di jawa (Tuban, Gresik, dan Cirebon) berdakwah menyebarkan Islam, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara.
Ada beberapa model gerakan dakwah terhadap gerakan orang Tionghua, tentunya selain dakwah yang dilakukan oleh sendiri-sendiri melalui tabligh (penyampaian dakwah) dan khuruj (keluar rumah untuk mengajak orang masuk Islam). Gerakan-gerakan dakwah tersebut antara lain:
Pertama, dengan mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam, semacam Islamic center. Yunus Yahya mencatat beberapa yayasan maupun pusat studi Islamyang didirikan oleh muslim Tionghua, seperti yayasan Haji Karim Oei yang bertujuan menyampaikan Islam kepada etnis Tionghua. Nama Karim Oei diambil dari seorang tokoh bernama Karim Oei (1905-1988) ia masuk Islam pada tahun 300-an.
Kedua, mendirikan pusat-pusat ibadah seperti Mesjid. Di Jakarta ada sebuah Mesjid yang dikenal sebagai “Mesjid Lautze”. Di mesjid ini diadakan salat jumat, idul Fitri, Idul Adha dan pengajian-pengajian rutin sehingga banyak orang Tionghua yang tertarik mempelajari Islam.
Ketiga, mendirikan pusat-pusat Islam (Islamic studies) terutama di sudut-sudut kota yang rawan terhadap konversi (convertion center) dilingkungan orang-orang Tionghua mulai berani menikah dengan orang pribumi, terutama muslimnya. Ungkapan-ungkapan seperti “ono cino iso ngaji” dan “ono cino mlebu mesjid” di jawa misalnya dapat menjadi salah satu factor integratif budaya asing dan budaya asing dan budaya pribumi. Ini adalah akses besar dalam proses Islamisasi bangsa Tionghua.






Dalam masa satu dasawarsa terakhir banyak terjadi kerusuhan dan konflik
yang melibatkan umat beragama, secara khusus terjadi antara umat Kristiani dan Muslim Indonesia. Kerusuhan dan konflik ini menyisakan banyak korban, puing-puing dan reruntuhan sekaligus juga pertanyaan ”Mengapa kerusuhan tersebut bisa terjadi?” dan ”Apa akar permasalahan di balik itu semua?” Banyak analisa yang telah dikemukakan para pakar untuk menjawab persoalan tersebut mulai dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dll. Namun penulis dalam penelitian ini mencoba mencari sisi lain dalam memberikan jawaban pada pertanyaan yang sama.
Penelitian ini mencoba menelusuri beberapa laporan penelitian tentang kasus-kasus kerusuhan yang terjadi di Indonesia yang secara khusus melibatkan unsur-unsur agama. Fokus penelitian ini ditujukan pada 2 (dua) kasus kerusuhan yang terjadi tahun 1996 dan 1997, yaitu kerusuhan Situbondo Jawa Timur dan Rengasdengklok Jawa Barat. Asumsi awal penulis dalam melihat kasus-kasus kerusuhan tersebut adalah bahwa konflik dan kerusuhan yang melibatkan unsur-unsur agama sedikit atau banyak tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur agama itu sendiri, seperti konsep, doktrin, atau ajarannya. Dalam hal ini penulis melihat aspek teologis seperti konsep tentang ’misi’ dalam agama Kristen dan ’dakwah’ dalam agama Islam perlu dilihat dan dikaji lebih jauh guna melihat kaitan serta peranannya dalam kasus-kasus kerusuhan di atas.
Perlunya melihat kembali konsep misi dan dakwah ini didasarkan pada pertimbangan bahwa misi dan dakwah masih menjadi ”pekerjaan rumah” yang belum selesai dalam hubungan antar umat beragama (dalam pengertian mengandung implikasi konflik laten dalam pelaksanaannya), khususnya antara umat kristiani dan umat muslim Indonesia. Ada 2 (dua) rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini. Pertama, seperti apakah bentuk gerakan misi dan dakwah dalam peta kasus kerusuhan sosial bernuansa agama di daerah Situbondo Jawa Timur dan Rengasdengklok Jawa Barat tahun 1996-2007? Dan kedua, bagaimanakah peranan gerakan misi dan dakwah tersebut dalam terciptanya kerusuhan sosial bernuansa agama di daerah Situbondo dan Rengasdengklok? Melalui pendekatan teologis normatif dan fonomenologis serta menggunakan teori ”kemunculan norma” dari Smelser, penulis menemukan bahwa gerakan misi dan dakwah dalam agama Kristen dan Islam berperan sebagai bagian dari faktor penentu terjadinya kerusuhan dalam kasus kerusuhan Situbondo dan Rengasdengklok karena masuk dalam kategori atau relevan dengan 4 (empat) dari 6 (enam) faktor penentu yang memunculkan perilaku kolektif seperti kerusuhan. Faktor yang berhubungan dengan gerakan misi dan dakwah tersebut adalah: Kesesuaian struktural, ketegangan struktural, kemunculan dan penyebaran pandangan, dan faktor pemercepat. Adapun bentuk gerakan misi dan dakwah dalam peta kerusuhan sosial bernuansa agama tersebut adalah upaya penyebaran agama dan pendirian rumah ibadah oleh kalangan umat Kristiani yang dibarengi oleh perlawanan dan oposisi dari umat Muslim.

Islam adalah agama dakwah, artinya agama yang selalu mendorong
pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah, bahkan maju mundurnya umat Islam sangat bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya. Dakwah adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang bersifat menyeru atau mengajak kepada orang lain untuk mengamalkan ajaran Islam. Dakwah merupakan suatu proses penyampaian ajaran Islam yang dilakukan secara sadar dan sengaja.

MEDIA DAKWAH SECARA ONLINE


.

Dalam melaksanakan dakwah secara on line ada beberapa media yang bisa kita manfaatkan, diantaranya ;
1. Melalui internet.
Banyak orang mengatakan bahwa jaringan internet itu lebih luas dari pada dunia ini. Dan itu memang benar adanya. Oleh sebab itu, banyak orang yang memanfaatkan jasa internet untuk mencari informasi dari berbagai belahan dunia. Begitu juga dengan dakwah. Dimana pun kita berada kita tetap bisa mengakses situs dakwah yang ada di internet.
Begitu juga apabila kita ingin berdakwah melalui internet, kita bisa membuat blog kecil-kecilan kemudian mengisinya dengan materi-materi agama Islam, persoalan sekitar agama Islam, Fiqh Islam, sampai pembahasan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Juga dengan beberapa kisah teladan seperti yang sudah dijelaskan dalam sistematika dakwah secara on line di atas. Kita juga bisa dikatakan menjadi da’i kecil-kecilan. Contoh situs dakwah yang ada di internet adalah : www.dakwahonline.com

2. Melalui hand phone.
Memberikan ceramah-ceramah agama Islam atau yang biasa disebut dakwah kini juga semakin marak dilaksanakan melalui hand phone. Yaitu dengan mengirimkan sms-sms yang berisi pernak-pernik ajaran agama Islam. Walaupun cara seperti ini semakin digalakkan, banyak orang yang tidak menyukai cara seperti ini. Hal ini dikarenakan biayanya cukup mahal yaitu jauh diatas biaya sms biasa.
Dan apabila kita ingin ikut menyumbangkan beberapa tausyiah atau ilmu-ilmu kagamaan juga cukup sulit. Malah hampir dikatakan tidak bisa. Karena kita hanya bisa menjadi member atau anggota saja dan mendapatkan sms tausyiah saja, tanpa bisa menyumbang. Meskipun demikian, tidak sedikit juga orang yang menggandrungi sms dakwah melalui hand phone yang juga bisa dikatakan sistem dakwah secara on line.
Disamping itu, ada kutipan sebuah buku di bawah ini :
”Oh, iya…untung aku tadi shalat dulu. Tak terbayang kalo aja Allah nggak memberkahi semua keinginan dan mimpiku. Makasih Allah, Engkau telah memberi semuanya padaku.”
Kalimat petikan di atas terdapat dalam buku berjudul Shalat is Fun, karya Doel Wahab alias Encep Dulwahab, alumnus Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN, dulu IAIN SGD Bandung). Boleh jadi, pembaca merasa heran mengetahui bahasa yang digunakannya. Memang, itulah bahasa okem atau “ABG” yang dipergunakan Doel Wahab. Judul bukunya juga aneh, pakai bahasa Inggris Shalat is Fun.
Demikian halnya, ketika membaca bab demi bab, bahasa yang dipergunakan Doel Wahab campur aduk antara Indonesia, Inggris, Sunda dan okem atau tutur kalimat yang biasa diucapkan kalangan remaja “ABG”.
Salahkah? Menurut Doel Wahab, dipergunakannya bahasa semacam itu sekadar metode dakwah. Diharapkannya, para pembaca yang berasal dari kalangan anak-anak dan remaja bisa lebih akrab, berminat, dan mudah memahami materi isi bukunya walau berkaitan dengan hukum Islam.
Selain buku Shalat is Fun, penerbit DAR Mizan menerbitkan sejumlah buku sejenis dengan gaya bahasa okem atau bahasa gaul remaja. Di tengah masyarakat, ternyata bukan hanya DAR Mizan, beberapa penerbit besar lainnya juga punya lini penerbitan dengan kekhasan penyajian bahasa gaya remaja, seperti Penerbit Asy Syaamil, Gema Insani Pers, Remaja Rosdakarya, dll. Tujuannya tak jauh berbeda yakni berusaha “menangkap” pasar kalangan anak-anak dan remaja.
Berdasarkan pengamatan tim “PR”, pola penyajian bahasa gaya remaja tampaknya tidak begitu jadi persoalan, tatkala sarana dakwahnya adalah media cetak atau media tulisan seperti di koran, tabloid, majalah, dan sejenisnya. Akan tetapi, ketika gaya bahasa dakwah seperti itu diterapkan dalam dakwah lisan seperti melalui ceramah atau diskusi, kerap kali terasa janggal dan bahkan memunculkan persoalan serius.
Betapa tidak, bisa dibayangkan seandainya Ustaz Jefry, Aa Gym (K.H. Abdullah Gymnastiar.), Ustaz Arifin Ilham, Ustaz Syafii Antonio, Ustaz Didin Hafiduddin, K.H. Miftah Faridl, instruktur ESQ Arie Ginanjar dan lainnya berceramah dengan bahasa gaul, tentu akan terasa aneh. Tak hanya itu, bisa-bisa berdampak buruk yakni para pendengarnya akan kaget dan pesan-pesan dakwah pun tidak tersampaikan secara baik.
Dalam kaitan ini, beberapa pakar komunikasi, berpandangan, dakwah memang harus menggunakan bahasa kaumnya agar komunikatif. Akan tetapi, bukankah kemudian harus menggunakan bahasa yang membingungkan atau menjadikan komunikasi atau audience terganggu “penerimaan” pesan-pesan dakwahnya.
Bahasa kaumnya yang dimaksud itu adalah seandainya yang dihadapi adalah objek dakwah asal Sunda, Jawa, atau Padang, maka tidaklah keliru kalau menggunakan bahasa Sunda, Jawa, atau Padang tatkala menyampaikan ceramahnya.
Selain dari bahasa, metode dakwah yang berkembang sekarang ini ternyata cukup banyak. Saksikan saja, acara-acara di layar televisi pada bulan Ramadan ini. Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab, umpamanya, membahas tafsir Alquran sambil duduk berhadapan dengan sejumlah kaum Muslimah, serta dibantu pemandu acara.
Quraish Shihab merasa cukup membekali dirinya dengan kitab suci Alquran. Beliau tidak membawa catatan, kertas, pulpen, papan tulis, layar proyektor, atau tape recorder, dan kertas bergambar atau alat peraga dakwah lainnya.
Metode dakwah Quraish Shihab ini juga diterapkan oleh sejumlah narasumber televisi yang lainnya. Kalaupun ada perbedaan, itu terletak pada tim kreatif pihak televisi seperti menyelipkan atau memberikan selingan gambar yang berkaitan erat dengan tema ceramah narasumber.
Ada juga metode dakwah di layar televisi yang melibatkan lawan bicara atau dialog dari kalangan yang berprofesi artis, pelawak, pejabat pemerintahan, atau bahkan masyarakat lapisan bawah seperti tukang becak, pedagang kaki lima, buruh, pengamen jalanan, dan lainnya.
Ada pula metode dakwah berupa ceramah massal atau tablig akbar, dengan peralatan dakwahnya berupa podium, pengeras suara, komputer laptop, dan beberapa alat peraga berupa kertas atau barang tertentu. Aa Gym, misalnya, merupakan salah satu pendakwah yang menggunakan metode ceramah dengan media modium, komputer laptop, dan saluran telefon untuk interaksi dengan masyarakat pemirsa di berbagai daerah.
Di Bandung, ada sejumlah mubalig atau dai yang berceramah dengan membawa perlengkapan audio visual dan bahkan papan tulis plus spidol white board. Di masjid Nurul Fallah, Kompleks Sukamenak Indah Kopo, misalnya, sering ada ceramah yang mubalignya membawa sendiri peralatan audio visualnya. Ustaz Asep Rohidin, umpamanya, adalah salah seorang mubalig yang ceramah membawa peralatan audio visual ke Masjid Nurul Fallah.
Selain Ustaz Asep Rohidin, ada juga Ustaz Amri–dari pesantren Daarut Tauhiid (DT)–yang gemar membawa peralatan audio visual tatkala menyampaikan ceramahnya. Ada pula Ustaz Drs. H. Asep Zaenal Ausop, M.Ag. yang gemar berceramah sambil “corat-coret” papan tulis atau white board.
Baik Ustaz Asep Rohidin maupun Ustaz Amri dan Asep Zaenal Ausop, sama-sama mengakui betapa media semacam itu dirasakan membantu penyampaian pesan-pesan dakwahnya. Audiens atau objek dakwah, ungkapnya, akan lebih mudah memahami berbagai persoalan dakwah yang dipaparkannya.
Upaya memberikan pemahaman kepada audience atau objek dakwah selain melalui alat peraga atau audio visual, ada pula yang melakukannya dengan pola dialog interaktif atau tanya-jawab seusai penyampaian materi dakwah, serta membagi-bagikan lembaran kertas fotokopi yang isinya materi dakwah.
Tim “PR” mengamati, baik di layar televisi maupun pada acara-acara pengajian di radio serta di tempat-tempat tertentu dalam kaitannya dengan peringatan hari-hari besar Islam sering kali digelar tanya-jawab. Di radio 102,6 MQ FM, misalnya, setiap pagi antara pukul 5.00 s.d. 6.00 WIB ditayangkan ceramah Aa Gym dan dialog melalui saluran telefon dalam negeri maupun internasional, dan bahkan memanfaatkan jaringan internet di 84 negara.
“Setiap hari Jumat pagi, kami berikan kesempatan kepada para pendengar di berbagai negara untuk mengakses dan berdialog interaktif dengan Aa Gym. Alhamdulillah, jaringan 102, 6 MQ FM yang ada 84 negara berhasil menyebarluaskan ceramah Aa Gym dan menjalin komunikasi interaktif. Umumnya memang orang Indonesia yang berada di luar negeri, baik karena sedang studi, bekerja, atau berwisata,” tutur Iwan, Manajer Radio 102, 6 MQ FM. Ikhtiar berdakwah di era globalisasi–yang ditandai dengan kemajuan berbagai produk teknologi informasi–ternyata bermacam-macam, dan boleh jadi tak terpikirkan di masa silam. Dalam kaitan ini, Aa Gym mengemukakan, dulu berdakwah itu hanya sebatas ceramah di podium lewat momentum pengajian rutin atau khotbah Jumat dan salat Ied. Akan tetapi, sekarang metode dakwah sangat beragam seperti lewat radio, televisi, dan bahkan memanfaatkan layar ponsel.
Selain DPU DT, pihak Dompet Dhuafa, Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), Rumah Zakat Indonesia Dompet Sosial Ummul Quro (RZI DSUQ), Dompet Al Fallah Surabaya, dan lembaga-lembaga pengelola dana ZIS lainnya, juga ada yang memanfaatkan layar ponsel dalam kegiatannya.
Kemajuan produk teknologi informasi, seperti komputer dan ponsel, kini juga dimanfaatkan kaum Muslimin dalam memahami berbagai hukum Islam.
Ikhtiar mengetahui dan meningkatkan kualitas dakwah, ternyata tidak hanya dilakukan oleh para dai di perkotaan. Akan tetapi, juga dai di pedesaan. Tim “PR” mencatat adanya berbagai program peningkatan kualitas dai yang digelar oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Departemen Agama (Depag), dan sejumlah lembaga keagamaan di berbagai daerah.
Dalam hal ini, ormas-ormas Islam pun tak ketinggalan, memprogram pelatihan bagi para dai, seperti yang dilakukan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), Al Washliyah, Mathlaul Anwar, Al Irsyad, dan lain-lain.
Demikian halnya dari aspek literatur dakwah, hingga Ramadan tahun ini, di tengah masyarakat beredar sejumlah buku yang bermanfaat bagi para dai dalam meningkatkan kualitas dakwahnya. Umumnya, buku-buku tersebut ditulis oleh para dai dan cendekiawan Muslim. Misalnya, Dr. K.H. Miftah Faridl menulis buku berjudul “Refleksi Islam: Ikhtiar Memaknai Gagasan Islam Kultural, yang diterbitkan oleh Pusdai Press (2004).
Dalam buku itu, diungkapkan antara lain tentang bagaimana membangun kekuatan dakwah Islamiah melalui konsolidasi para dai.
K.H. Miftah Faridl mengemukakan, sebagai khairu ummat, juru dakwah atau dai adalah kelompok yang mengemban amanat kebajikan untuk membentuk tatanan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
“Para dai merupakan kelompok terdepan dalam membimbing umat agar tetap memelihara semangat spriritualitas membangun kehidupan sosial yang seimbang antara urusan duniawi dengan ukhrawi,” kata K.H. Miftah Faridl.
Diungkapkannya, sepak terjang dai selalu mencerminkan pesan-pesan Islam terutama dalam usaha membentuk bangunan ukhuwah sebagai salah satu pilar penting dalam kesatuan umat. Sedangkan dalam posisinya sebagai figur karismatik di tengah-tengah kehidupan manusia, mereka merupakan kekuatan moral yang sanggup mengembuskan napas kehidupan.




































Internet sebagai Media Dakwah






“Sampaikanlah, walau hanya satu ayat,” demikian ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya suatu ketika. Ujaran yang sangat terkenal tersebut berintikan ajakan kepada para penganut agama Islam untuk senantiasa menyempatkan diri berdakwah dan berbagi pengetahuan bagi sesama, kapanpun, di manapun, dan dalam keadaan bagaimanapun.

Sebelum Rosullulah SAW wafat pada tahun 632 M, dakwah kerap dilakukan secara lisan. Baru pada tahun 644 M ketika Islam dipimpin oleh Utsman bin Affan, sahabat Rosulullah dan khalifah ketiga, dakwah mulai dilakukan secara tertulis. Pada saat itu Al-Qur’an sebagai kitab suci Islam mulai dibukukan, digandakan dan disebarluaskan ke imperium-imperium Islam di penjuru dunia.

Semangat dakwah, meskipun hanya satu ayat, merupakan satu bentuk “tanggung jawab moril” yang sangat mengakar di kalangan umat Islam. Segala daya dan upaya untuk melakukan dakwah terus dilakukan hingga kini. Setelah beratus tahun berselang sejak dakwah lisan dikumandangkan oleh Rosulullah, pada masa kini dakwah telah menggunakan medium bit, binary dan digital. Dakwah dalam bentuk tulisan di buku mendapatkan komplementernya berupa text dan hypertext di Internet.

Meskipun jumlahnya masih sangat sedikit, kalangan umat Islam di Indonesia yang menggunakan Internet sebagai media dakwah jumlahnya kian hari kian bertambah. Total jumlah pengguna Internet di Indonesia saja terhitung baru sekitar 2 persen saja dari total penduduk Indonesia. Tetapi semangat berdakwah “walau hanya satu ayat” tersebut tidak mengurungkan niat para pelaku dakwah digital.

Fenomena dakwah digital tersebut memang berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi informasi (TI) di dunia. Internet komersial baru masuk ke Indonesia pada tahun 1994, dengan dibukanya IndoNet di Jakarta, sebagai Internet Service Provider (ISP) pertama di Indonesia.
Kemudian pada sekitar tahun 1998-1999 mulai marak aneka mailing-list (milis) Indonesia bernuansa Islami. Baru kemudian pada tahun 1999-2000 bermunculanlah situs-situs Islam di Indonesia, yang tidak sekedar situs-situs institusi Islam, tetapi berisi aneka informasi dan fasilitas yang memang dibutuhkan oleh umat Islam. Maka lengkaplah Internet menjadi salah satu media rujukan dan media dakwah Islam Indonesia.

Masuknya Internet dalam aspek kehidupan umat Islam mulai menggeser pemikiran-pemikiran lama. Menjadi santri kini tidak harus diidentikkan dengan sarung dan mengaji di langgar saja. Sekedar contoh, Masjid At-Tin di Kompleks Taman Mini misalnya, di dalamnya terdapat sebuah warnet dengan 10 buah komputer. Administrasi warnet tersebut berada di bawah Bidang Dakwah dan Pendidikan Yayasan At-Tin, sebagai pengelola Masjid tersebut.

Kekuatan milis sebagai media dakwah memang bukan hal yang sepele. Jika kita mengetikkan keyword “Islam” di YahooGroups.com, maka akan didapat tidak kurang dari 2000 milis yang membahas soal Islam dari berbagai bahasa dan negara. Bahkan kini tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia versi Departemen Agama pun dapat disimak di sebuah milis yang didirikan pada Agustus 2000 dan telah memiliki anggota sebanyak 1000 orang lebih.

Kebutuhan akan aktualisasi diri sebagai seorang muslim ternyata sama pentingnya dengan dakwah itu sendiri. Buktinya, pengguna webmail MyQuran.com tercatat lebih dari 40 ribu anggota. Sebagian dari para anggota tersebut juga aktif di forum diskusi online di situs tersebut. Situs MyQuran.com yang didirikan pada Juli 1999 merupakan situs portal informasi Islam. Jika rindu akan suara adzan dari Mekkah, maka MyQuran.com memiliki link yang dapat mengumandangkan adzan tersebut. Bahkan dapat juga diniikmati alunan pembacaan kitab suci Al-Qur’an lengkap 114 surah.

Dari beberapa contoh aplikasi Internet di atas, maka dapat ditarik satu pemahaman umum bahwa Internet memang merupakan media yang efektif bagi dakwah dan penyebaran informasi. Meskipun demikian Internet tidak akan bisa menggantian perang ulama, kiai dan ustadz. Demikian ditegaskan oleh Onno W. Purbo, praktisi Internet yang kerap memberikan dakwah Internet ke pesatren-pesantren. Menurut Onno, Internet hanyalah sebuah media komunikasi. “Justru seorang pendakwah dapat dengan mudah memiliki jutaan umat saat mereka menggunakan Internet,” ujar Onno. //**

BELAJAR BERFILSAFAT


.

Pemikiran filsafat Yunani mencapai puncaknya pada saat murid Plato bernama Aristoteles (384-322 SM). Ia mengatakan bahwa tugas utama ilmu pengetahuan ialah mencari penyebab-penyebab objek yang diselidiki. Kekurangan utama para filosof sebelumnya yang telah menyelidiki alam adalah bahwa mereka tidak memeriksa semua penyebab. Aristoteles berpendapat bahwa tiap-tiap kejadian mempunyai empat penyebab yang semuanya harus disebut, bila manusia hendak memahami proses kejadian segala sesuatu.
Menurut Bertens dalam buku Yanto dan Arifin (1975:144). Keempat penyebab itu adalah
1. Penyebab Material (Material Cause) ialah bahan dari mana benda dibuat. Misalnya kursi dibuat dari kayu.
2. Penyebab Formal (Formal Cause) ialah bentuk yang menyusun bahan. Misalnya bentuk kursi ditambah pada kayu, sehingga kayu menjadi sebuah kursi.
3. Penyebab Efisien (Effisien Cause) ialah sumber kejadian; faktor yang menjalankan kejadian. Misalnya tukang kayu yang membuat kursi.
4. Penyebab Final (Final Cause) inilah tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Misalnya kursi dibuat agar orang dapat duduk diatasnya.
Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada zaman modern adalah persoalan epistemologi atau teori pengetahuan. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat epistemology, maka dalam filsafat modern muncullah berbagai aliran filsafat yang memberikan jawaban berbeda bahkan saling bertentangan. Aliran-aliran tersebut antara lain:
1) Rasionalisme
Usaha manusia untuk memberikan suatu kedudukan yang “berdiri sendiri’, sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir “Renaissans” berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah abad dimulainya pemikiran-pemikiran ke filsafatan dalam artian yang sebenarnya. Semakin lama manusia maka semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal, sehingga tampaklah adanya keyakinan bahwa dengan kemampuan akal itu pasti dapat diterangkan segala macam persoalan, dapat dipahami segala macam permasalahan, dan dapat dipecahkan segala macam masalah kemanusiaan.
Aliran filsafat rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercayai adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal-lah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu syarat yang dituntut semua pengetahuan ilmiah.
2) Empirisme
Para penganut aliran empiris dalam berfilsafat bertolak belakang dengan para penganut aliran rasionalisme. Mereka menentang pendapat-pendapat para penganut rasionalisme yang didasarkan atas kepastian-kepastian yang bersifat apriori. Menurut pendapat penganut empirisme, metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori tetapi posteriori, yaitu metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang, terjadinya atau adanya kemudian.
Bagi penganut empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman disini adalah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman bathin yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui pengalaman.
3) Kritisme
Seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) telah melakukan usaha untuk menjembatani pandangan-pandangan yang saling bertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Kekurangan-kekurangan yang ditunjukkan oleh masing-masing pandangan tersebut hendak digantinya dengan pandangan yang memberikan keleluasan bagi bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi dan bagi adanya subyek yang mengetahui secara aktif mengelola bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi tersebut.
Kritisme adalah sebuah teori pengatahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dalam sifat rasionalisme dan empirisme dalam suatu hubungan yang seimbang, yang satu tidak terpisahkan dari yang lain. Menurut Kant, pengetahuan merupakan hasil terakhir yang diperoleh dengan adanya kerjasama di antara dua komponen, yaitu disatu pihak berupa bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi.
Selanjutnya, Kant mengatakan pengetahuan itu seharusnya sintesis a priori, yaitu bahwa pengetahuan bersumber dari rasio dan empiri yang sekaligus bersifat a priori dan a posteriori.
4) Idealisme
Bagi Hegel (1770-1831) pikiran adalh esensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobyektifkan. Alam adalah proses pemikiran yang memudar, yang adalah juga akal yang mutlak (absolute reason) yang mengekspresikan dirinya dalam bentuk luar.
5) Positivisme
Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dengan demikian, positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untu menelaah fakta. Dalam perkembangannya, ada beberapa positivistik, yaitu : positivisme sosial, positivisme evolusioner, positivisme kritis, dan positivisme logik. Positivisme sosial adalah penjabaran lebih lanjut kebutuhan manusia dan sejarah. Comte dalam studinya mengenai sejarah perkembangan alam pikir manusia menjelaskan bahwa matematika bukan ilmu, melainkan alat berfikir logik. Ia menjenjangkan perkembangan alam pikir manusia yaitu teologik, metafisik, dan positif. Bentham dan Mill menyatakan bahwa ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Mereka menolak otoritas apapun yang menyusupi ilmu. Positivisme evolusioner berangkat dari fisika dan biologi yang menggunakan doktrin evolusi biologis. Berangkat dari pemikiran tersebut, Spencer menganggap evolusi adalah proses dari homogen ke heterogen. Positivisme kritis atau empiriokritisme memandang bahwa sesuatu ( bisa berupa masyarakat ataupun kebudayaan) itu adalah serangkaian relasi inderawi, dan pemikiran kita adalah persepsi kita atau representasi dari sesuatu tersebut. Positivisme logik banyak dikemukakan oleh para pemikir dari neo-Kantian. Ia menolak segala bentuk etik transeden bahkan ia menyarankan adanya unifikasi ilmu dan mengganti konsep variabilitas menjadi konsep konfirmabilitas.
6) Fenomenologi
Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859 – 1838). Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Sebut saja para filsuf seperti Ernst Cassier (neo-Kantianisme), Mc.Taggart (idealisme), Fregge (logisisme), Dilthey (hermeneutika) Kierkergaard (filsafat eksistensial), Derida (poststrukturalisme)—semuanya sedikit banyak mendapat pengaruh dari fenomenologi. Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semu konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebis mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme epistimologi modern. Fenomenologi yang dipromosikan Husserl sebagai ilmu tanpa presuposisi. Ini bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi. Presuposisi yang menghantui filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme. Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi. Psikologi, sosiologi, antropologi, sampai arsitektur semuanya memperoleh nafas baru dengan munculnya fenomenologi. Penyamarataan ilmu-ilmu humaniora dengan ilmu-ilmu mendapatkan tentangan keras dari filsuf-filsuf neo-Kantian yang menginginkan adanya pemilahan, baik sacara metodologis, ontologis, dan epistimologis antara ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu alam. Para Kantian merasa bahwa manusia tidak semata-mata ditentukan oleh hukum maupun bertindak secara rasional semata (animal rationale), melainkan juga memiliki kekayaan batin (emosi, kehendak, disposisi) yang tidak dapat diukur begitu saja dengan model-model ilmu alam. Salah satu neo-Kantian dari Mahzab Marburg bernama Ernst Cassier mengungkapkan konsepnya tentang manusia sebagai animal symbolicum (makhluk simbolik) konsepnya ini menentang konsep manusia yang dideterminasi oleh daya-daya atau stimulan-stimulan eksternal seperti halnya benda-benda fisik. Cassier menolak pandangan naturalisme yang dianut ilmu-ilmu alam (ada realitas material eksternal yang berjalan secara deterministik dan independen dari subjek).
7) Strukturalisme
Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat. Pertama, strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan, dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistic yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Di sini ilmu-ilmu kemanusiaan dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang dalam terminology Duilthey disebut Geisteswissenchaftten yang dibedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam atau Naturalwissenchaften. Kedua, strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat.
Para strukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme linguistic dalam berfilsafat bereaksi terhadap aliran filsafat fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat manusia dari sudut pandangan yang subjektif. Para penganut aliran filsafat strukturalisme ini memiliki corak beragam, namun demikian mereka memiliki kesamaan, yaitu penolakan terhadap prioritas kesadaran.
Postmodernisme
Pada abad ke-20 ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam dunia praktis cukup besar, yaitu aliran filsafat pragmatism. Seorang tokoh pragmatism yaitu Willen James (1842-1910) membedakan dua macam bentuk pengetahuan, pertama; pengetahuan yang langsung diperoleh dengan jalan pengamatan. Kedua; merupakan pengetahuan yang tidak langsung diperoleh dengan melalui pengertian (Delfgaauw, 1988: 62).
Postmodernisme sebagi trend dari suatu pemikiran yang sangat popular pada penghujung abad ke-20 ini merambah berbagai bidang dan disiplin ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan. Istilah “Postmodern” telah digunakan dalam demikian banyak bidang dengan hiruk pikuk, yang merupakan reaksi terhadap kegagalan modernism.
Jurgen Habermas adalah filosof abad ke-20 dapat dikategorikan sebagai filosof postmodernisme, namun ia juga tokoh utama mazhab Frankfurt atau teori Kritis.
9) Non-Aliran
Selain dari filosof-filosof yang termasuk aliran-aliran tersebut di atas, ada beberapa filosof dalam filsafat barat yang berpengaruh dalam dunia filsafat dan ilmu pengetahuan, di antaranya Kartl Raimund Popper.
Filosof berikutnya adalah Paul kartl Feyeraband, ia terkenal dengan istilah anarkisme epistemologis, yang kemudian dipertentangkan dengan anarkisme politik atau religious.
________________________________________
. PENGERTIAN FENOMENOLOGI
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.
Menurut Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar dan dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada saya sebagai subjek, seperti akan kita lihat lagi. Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri.
“fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita, realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.

B. SEJARAH FENOMENOLOGI
Fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad ke-20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakan, yang menjadi dasar pengetahuan empiris (penampakan yang diterima secara manusiawi). Istilah fenomenologi itu sendiri diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert, pengikut Christian Wolff. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya, seperti halnya Johann Gottlieb Fichte dan G. W. F. Hegel. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi desktiptif. Dari sinilah awalnya Edmund Husserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.
Istilah fenomenologi masih banyak digunakan sesekali, namun terbatas hanya pada “fenomena” saja, sebagai sumber dari pengetahuan. Franz Berntano adalah yang meletakan dasar fenomenologi lebih tegas lagi. Dalam tulisannya yang berjudul Psychology from an Empirical Standpoint (1874), Bretano mendefiniskan fenomena sebagai sesuatu yang terjadi dalam pikiran, sedangkan fenomena mental adalah tindakan yang dilakukan secara sadar. Ia kemudian membedakan antara fenomena mental dengan fenomena fisik (objek atau persepsi eksternal yang dimulai dari warna dan bentuk). Jadi bagi Brentani, fenomena fisik ada karena “kesengajaan”, dalam tindakan sadar (intentional inexistance).
Pemikian Brentano ini menimbulkan pertanyaan ontologi berkaitan dengan “apa yang ada dalam pikiran”, dan “apakah objek fisik hanya ada dalam pikiran” ?. Walaupun demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa fenomena adalah sesuatu yang kita sadari, objek dan kejadian disekitar kita, orang lain dan diri kita sendiri, sebagai refleksi dari pengalaman sadar kita. Dalam pengertian yang lebih lanjut lagi, fenomena adalah sesuatu yang masuk ke dalam “kesadaran” kita, baik dalam bentuk persepsi, khayalan, keinginan, atau pikiran. Definisi fenomena dari Brentano yang lebih luas ini (bila dibandingkan dengan definisi fenomena dari immanuel kant), yang kemudian mengantarkan kita pada fenomenologi yang lebih hakiki.
Pada masa selanjutnya, selain Brentano dan Willuan James dengan Principles of Psychology (1891), berkembang pula teori semantik atau logika dari Bernard Bolzano dan Edmund Husserl (logika modern), termasuk Gottlob Frege. Dalam Theory of Science (1835), Bolzano membedakan antara “ide subjektif” dengan “ide objektif atau ambaran” (Vorstullungen). Pemikirannya ini merupakan kritikan langsung terhadap Kant dan aliran filsafat yang tidak mampu membedakan antara keduanya. Dengan demikian pada saat itu berkembang dua kutub ilmu yang saling bertolak belakang. Di satu sisi logika yang mempelajari ide objektif, seperti proposisi yang saat ini kita kenal dengan pengetahuan objektif.
Fenomenologi bagi Husserl adalah proses kesadaran yang disengaja dengan noesis dan sedangkan untuk noema untuk isi dari kesadaran itu (neoaw yang berarti merasa, berpikir, bermaksud, dan kata nous berarti pikiran). Noema dari tindakan sadar disebut Husserl sebagai makna idela, dan objek sebagaimana tampak. Fenomena (objek sebagaimana tampak) adalah noema. Interpretasi Husserl ini menjadi dasar teori Husserl selanjutnya mengenai teori kesengajaan (apakah noema salah satu aspek dari objek, ataukah media dari tujuan).
Singkatnya, fenomenologi bagi Husserl adalah gabungan antara psikologi dan logika. Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi, untuk menjelaskan dan menganalisis tipe-tipe aktivitas mental subjektif, pengalaman, dan tindakan sadar. Jadi fenomenologi adalah bentuk lain dari logika. Teori tentang makna (logika semantik) menjelaskan dan menganalisis isi objektif dari kesadaran, seperti ide, konsep, gambaran dan proposisi. Singkatnya, makna ideal dari beragam tipe yang disajikan, sebagai isi yang disengaja, atau makna noematik dari beragam tipe pengalaman. Isi tersebut dapat terdiri dari tindakan sadar yang berbeda-beda, dengan kata lain objektif dan bermakna ideal.

C. SEJARAH PERKEMBANGAN FENOMENOLOGI
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang berarti “menampak”. Phaimenon merujuk pada “yang menampak”. Fenomena tiada lain adalah fakta yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Jadi suatu objek itu ada didalam relasi dengan kesadaran. Fenomena bukanlah dirinya seperti tampak secara kasat mata, melainkan justru ada didepan kesadaran, dan disajikan dengan kesadaran pula. Berkaitan dengan hal ini, maka fenomenologi merefleksikan pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara intensif berhubungan dengan suatu objek.
Menurut The Oxford English Dictionary, yang dimaksud fenomenologi adalah (a) the science of phenomena as distinct from being (ontology), (b) division of any science which describes and classifies its phenomena. Jadi fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain, fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak didepan kita dan bagaimana penampakannya.
Tujuan fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengkontruksi makna dan konsep-konsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas. Intersubjektivitas karena pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Walaupun makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya dan aktivitas yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain didalamnya.
Fenomenologi sangat menarik perhatian para peneliti psikologi di awal abad 20. psikologi eksistensi atau existential phenomenological psychology, demikian psikologi menyebutnya, berembang menjadi sub disiplin tersendiri dalam psikologi, dipelopori oleh Frankl, May dan Perl. Sub disiplin ini memfokuskan pada pemahaman pengalaman manusia, dalam berbagai situasi. “Fidelity to the phenomenon as it is lived” atau kebenaran fenomena itu ada bersama dengan fenomena tersebut. Singkatnya fenomenologi berusaha untuk memahami fenomena (konteks kehidupan) melalui situasi tertentu.

D. TOKOH-TOKOH FENOMENOLOGI
1. Edmund Husserl (1859-1938)
Husserl lahir di kota Prosnitz, Moravia, suatu bagian dari kerajaan Austria. Dia berasal dari keluarga Yahudi, ayahnya adalah seorang pedagang pakaian. Husserl tertarik belajar matematika, fisika, dan filsafat, lebih spesifik dia juga mempelajari ilmu perbintangan dan ilmu optik. Pada 1886 dia mempelajari psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi. Di akhir hayatnya dia meninggal akibat pneumonia.
Filsuf kelahiran Austria ini justru besar dan menjadi milik Jerman. Dia di anggap sebagai bapak pergerakan filsafat fenomenologi. Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya. Lewat fenomenologi, Husserl hakikatnya adalah kritikus yang interpreter dengan menguraikan suatu fenomena yang dihadapi. Ilmu pengetahuan bagi Husserl dapat mengantarkan pada pengalaman-pengalaman baru yang eksklusif tersendiri secara subjektif transendental. Fenomenologi Husserl berikutnya menjadi reverensi bagi fenomenologi Heidegger, Sartre, Gadamer, Levinas, maupun Derrida.

2. Martin Heidegger
Martin Heidegger (lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana 1928. Ia mempengaruhi banyak filsuf lainnya, dan murid-muridnya termasuk Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Xavier Zubiri dan Karl Löwith. Maurice Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-Luc Nancy, dan Philippe Lacoue-Labarthe juga mempelajari tulisan-tulisannya dengan mendalam. Selain hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistentialisme, dekonstruksi, hermeneutika dan pasca-modernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat Barat dari pertanyaan-pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan ontologis, artinya, pertanyaan-pertanyaan menyangkut makna keberadaan, atau apa artinya bagi manusia untuk berada. Heidegger juga merupakan anggota akademik yang penting dari Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei.
Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Secara sederhana, kaum fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoretis abstrak. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Heidegger adalah mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi seorang fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang "Ada" (atau apa artinya "berada"). Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) dicirikan sebagai sebuah ontologi fenomenologis. Gagasan tentang Ada berasal dari Parmenides dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama dari filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika dari Plato hingga Descartes, dan belakangan ini pada Masa Pencerahan. Heidegger berusaha mendasarkan Ada di dalam waktu, dan dengan demikian menemukan hakikat atau makna yang sesungguhnya dalam artian kemampuannya untuk kita pahami.
Demikianlah Heidegger memulai di mana Ada itu dimulai, yakni di dalam filsafat Yunani, membangkitkan kembali suatu masalah yang telah lenyap dan yang kurang dihargai dalam filsafat masa kini. Upaya besar Heidegger adalah menangani kembali gagasan Plato dengan serius, dan pada saat yang sama menggoyahkan seluruh dunia Platonis dengan menantang saripati Platonisme - memperlakukan Ada bukan sebagai sesuatu yang nirwaktu dan transenden, melainkan sebagai yang imanen (selalu hadir) dalam waktu dan sejarah. Hal ini yang mengakibatkan kaum Platonis seperti George Grant menghargai kecemerlangan Heidegger sebagai seorang pemikir meskipun mereka tidak setuju dengan analisisnya tentang Ada dan konsepsinya tentang gagasan Platoniknya.
Meskipun Heidegger adalah seorang pemikir yang luar biasa kreatif dan asli, dia juga meminjam banyak dari pemikiran Friedrich Nietzche dan Soren Kierkegaard. Heidegger dapat dibandingkan dengan Aristoteles yang menggunakan dialog Plato dan secara sistematis menghadirkannya sebagai satu bentuk gagasan. Bagitu juga Heidegger mengambil intisari pemikiran Nietzsche dari sebuah fragmen yang tak terbit dan menafsirkannya sebagai bentuk puncak metafisika barat. Karya Heidegger berupa transkrip perkuliahan selama 1936 tentang Nietzsche’s Will to Power as Art kurang bernilai akademis dibandingkan karyanya sendiri yang lebih asli. Konsep Heidegger tentang kecemasan angst dan das sein berasal dari konsep Kierkegaard tentang kecemasan, pentingnya relasi subjektivitas dengan kebenaran, eksistensi di hadapan kematian, kesementaraan eksistensi, dan pentingnya afirmasi diri dari Ada seseorang di dalam dunia.
Martin Heidegger dianggap sebagai salah satu filsuf terbesar dari abad 20. Arti pentingnya hanya dapat disaingi oleh Ludwig Wittgenstein. Gagasannya merasuki berbagai bidang penelitian yang luas. Karena diskusi Heidegger tentang ontologi maka dia kerap dianggap salah satu pendiri eksistensialisme dan gagasannya kerap mewarnai banyak karya besar filsafat seperti karya Sartre yang mengadopsinya banyak gagasannya, meskipun Heidegger bersikeras bahwa Sartre salah memahami gagasannya. Gagasannya diterima di seluruh Jerman, Perancis, dan Jepang hingga banyak pengikut di Amerka Utara sejak 1970-an. Meskipun demikian, gagasannya dianggap sebagai tak bernilai oleh beberapa pemikir kontemporer seperti mereka yang di dalam Lingkaran Wina,Theodor Adorno, dan filsuf Inggris Bertrand Russell dan Alfred Ayer.
Penolakan Heidegger akan konsep seperti pembedaan fakta dan nilai, penambahan komponen etis pada filsafatnya, kekritisannya terhadap sains dan teknologi modern, dan klaimnya akan kesalahpahaman akan pikirannya kerap membingungkan para filsuf. Serangan terhadap gagasannya nampak menjadi satu-satunya kemungkinan yang dapat dilakukan, terlebih ditambah dengan tingkah laku pribadinya yang tampak secara moral dan politik ambigu.

3. Jean-Paul Sartre
Lahir di Paris, Perancis (21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre).
Pada tahun 1964 ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang.
Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.
Jean Paul Sartre salah seorang tokoh fenomenologi dari Francis, belajar fenomenologi. Ia menulis dua artikel fenomenologi Husserl yang ditemukan dalam konsep Ideen I. Artikel yang pertama adalah ‘Ego Transendental’ (La transcendence de I ‘ego’) tahun 1936. Sartre setuju dengan komponen esensial fenomenologi Husserl, misalnya tentang kesadaran, akan tetapi Sartre menolak eksistensial ego transcendental pada kesadaran dan manifestasi dirinya sendiri didalam kesadaran. Dalam pandangan Sartre, ‘tidak ada ego dalam kesadaran’ yang ada hanya ‘ego bagi kesadaran’.

4. Maurice Maeleau-Ponty
Menurut Merleau-Ponty, asal usul fenomenologi dimulai dari Hegel (1770-1831) melalui Marxisme. Hegel memperkenalkan usaha yang pertama untuk menyelidiki wilayah irasional dan mengintegrasikannya ke dalam reason. Menurut Hegel, reason lebih berpengaruh dibanding dengan intellect. Reason ini menunjukan bahwa dirinya sendiri respek terhadap pelbagai sikap psikis berbeda yang terdapat pada manusia, terutama dalam peradaban dan metode berfikir serta pelbagai kemungkinan sejarah (contingency of history). Reason tidak mengabaikan kewajibannya menemukan kesatuan dalam keberagaman dan mengerti segala sesuatu, serta tentu saja, menempatkan sesuatu dalam kebenarannya sendiri.
Gerakan fenomenologi sendiri mulai berkembang di Jerman pada awal abad ke-20 dengan pelopornya adalah Edmund Husserl. Istilah ‘gerakan’ tidak mengacu kepada tindakan politik, sosial, atau seni (meaningful action), tetapi lebih merupakan istilah yang lebih dekat dengan konsep ‘aliran’ atau ‘mazhab’. Kata ‘gerakan’ menitikberatkan pada situasi dimana fenomenologi sebagai sebuah aliran filsafat tidak statis tetapi dinamis, senantiasa berubah dan berkembang sesuai dengan konteks dan kebutuhan zaman.

5. Max Weber
Max Weber (1864 - 1920) mengembangkan pengertian verstehen ini di dalam ilmu sosial dan sampai pada kesimpulan bahwa untuk meneliti persoalan-persoalan manusia perlu metode yang tepat bagi tataran makna (sebagai lawan dari tataran penampakan yang selama ini dipakai ilmu alam dan aliran positivisme). Menurut Weber, fungsi utama ilmu sosial adalah melakukan interpretasi terhadap persoalan-persoalan sosial. Dari sinilah muncul interpretivisme dan Weber menegaskan bahwa seorang ilmuan sosial bertugas memahami makna subjektif dari aktivitas sosial. Istilah dari Weber inilah yang kemudian sering dipakai untuk membuat dua kutub: positivisme dan interpretivisme. Lihat di sini tentang pembahasan sekilas keduanya.
Pandangan dasar Dilthey menganggap bahwa manusia adalah mahluk yang sepanjang hidupnya meng-eksternal-kan apa yang terjadi dalam proses internal pikirannya (misalnya, pikiran seorang penulis) dengan jalan menciptakan artefak-artefak budaya yang punya ciri-ciri objektif atau ciri kebendaan (misalnya, sebuah buku). Proses mengeksternalkan apa yang internal untuk menjadi sebuah objek berciri kebendaan ini dikenal sebagai "objektifikasi". Sebab itulah pandangan Dilthey ini sering disebut pandangan yang idealis-objektif. Semua institusi sosial (misalnya perpustakaan), karya seni, literatur, bahasa, religi, dan sebagainya, adalah hasil dari proses objektifikasi, dan inilah yang harus dikaji oleh seorang ilmuwan sosial. Dilthey juga percaya bahwa "kehidupan" sebenarnya bukanlah kehidupan biologis melainkan totalitas sejarah pengalaman umat manusia, sebab itulah ilmu pasti-alam tidak dapat mengkaji masalah sosial-budaya.
Untuk menerapkan prinsip verstehen dalam penelitian, Dilthey memperkenalkan metode hermenetik (hermeneutics). Dengan metode ini, Dilthey membuat perbedaan yang tegas antara "menjelaskan" dan "memahami" untuk memisahkan ilmu pasti-alam dari ilmu sosial-budaya. Ilmu pasti-alam adalah ilmu yang bertujuan menjelaskan aspek sebab-akibat dari objek alamiah yang diteliti, sedangkan ilmu sosial-budaya berupaya mengembangkan pemahaman lewat empati kepada hal yang diteliti. Selain itu, "memahami" dalam hermenetika harus didasarkan pada dua hal, yaitu pengetahuan tentang hal yang diteliti dan pengertian yang mendalam tentang dunia yang lebih luas. Ajaran Dilthey ini antara lain dipertegas oleh Friederich Schleiermacher (1768-1834) yang mengusulkan apa yang disebut lingkaran hermenetik (hermeneutic circle) dengan menyatakan bahwa keseluruhan dunia sosial (social whole) harus dipahami bersama-sama dengan satuan-satuannya (parts), dan sebaliknya. Sebuah kalimat harus dipahami dengan memahami setiap kata-kata di dalamnya, sedemikian rupa sehingga setiap kata dapat dipahami dengan memahami kalimatnya. Fenomena sosial juga dapat diberlakukan seperti kita memahami kalimat; keseluruhan fenomena itu harus dipahami lewat pemahaman bagian-bagiannya, dan sebaliknya.
Max weber Lahir di Erfrurt 1864. Ia menyelesaikan pendidikannya dibidang hokum, ekonomi, sejarah , filsafat dan teologi.Ia termasuk yang ikut menyebarkan ilmu sosiologi yang dianggap masih muda di waktu itu. Max Weber, walaupun menguasai bidang politik namun ia tidak terlibat dalam aksi politik. Ia mengarang buku Le Savant et le politique ( ilmuan dan politik ).
Weber menyatakan bahwa rasionalisasi kehidupan sosial menjadi cirri yang paling signifikan pada masyarakat modern.Menurutnya rasionalisasi menyangkut tiga tipe besar aktifitas manusia yaitu :
Tindakan tradisional yang berkaitan dengan adat-iastiadat.Aktivitas sehari-hari seperti makan menggunakan garpu atau cara member salam kepada teman termasuk pada tindakan tradisional.
Tindakan afektif yang digerakkan oleh nafsu.
 Tindakan rasional yang merupakan alat ( instrument), ditujukan kearah nilai yang bermanfaat dan berimplikasi pada kesesuaian antara tujuan dengan cara.

Menurutnya tindakan rasional menjadi ciri masyarakat modern yaitu dirinya sebagai pengusaha kapitalis , ilmuan, konsumen atau pegawai yang bertindak sesuai dengan logika tersebut. Aktivititas manusia merupakan kombinasi dari berbagai tindakan. Jarang sekali aktivitas sosial yang berorientasi pada salah satu jenis tindakan saja. Jenis-jenis aktivitas itu hanya berupa tipe-tipe murni yang dibangun untuk tujuan risert sosiologi.Aktivitas riil itu kurang lebih sebanding dan lebih sering berkombinasi.

Dalam econimie et societe, ia membedakan tiga tipe dominasi :
Dominasi tradisional yang didasarkan pada legitimasi karena cirri sakralitas yang melekat kepadanya.contohnya kekuasaan para tuan tanah.
Dominasi kharismatik adalah dominasi suatu perorangan/personalitas tertentu dan dikaruniai aura khusus.Pemimpin kharismatik membesarkan kekuatan untuk menyakinkan dan kapasitasnya untuk mengumpulkan dan memobilisasi banyak orang. Ketaatan pada pemimpin semacam ini terkait dengan factor-faktor emosional yang berhasil dibangkitkan, dipertahankan dan dikuasainya.
 Dominasi “legal-rasional “ yang bertumpu pada hokum formal dan impersonal. Dominasi ini terkait dengan fungsi, dan bukan pada person. Kekuasaan dalam organisasi modern dijustifikasi lewat kompetensi, rasionalitas d ijustifikasi lewat kompetensi, rasionalitas dan bukan pada kekuatan sihir. Kepatuhan pada tipe ini didasarkan pada sebuah kitab hukum.


BAB III
SIMPULAN

Fenomenologi adalah metode filosofis yang berkembang pada tahun-tahun pertama abad ke-20 oleh Edmund Husserl dan lingkaran pengikutnya di Universitas Göttingen dan Munich di Jerman. Setelah itu, tema-tema fenomenologis diangkat oleh para filsuf di Perancis, Amerika, dan bagian dunia lainnya, seringkali dalam konteks-konteks yang jauh dari karya Husserl.

“Fenomenologi” berasal dari kata Yunani phainómenon, yang berarti “yang tampak,” dan lógos, berarti “studi.” Dalam konsepsi Husserl, fenomenologi terutama berurusan dengan pembentukan struktur-struktur kesadaran, dan fenomena yang tampak dalam tindakan-tindakan kesadaran, obyek-obyek refleksi sistematis dan analisis.
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata.
Dalam pendekatan sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan pendekatan filosofis ini.
Lahirnya aliran psikologi Fenomeologi sangat dipengaruhi oleh filsafat Fenomenologi. Tokoh filsafat fenomenologi yang terkenal adalah Edmund Husserl (1859-1938). Fenomenologi dalam arti luas adalah filsafat yang berpegang pada motto Husserl, ”kembali kepada berbagai hal itu sendiri”, yang dapat diartikan sebagai deskripsi yang bisa dipercaya dan tak menyimpang tentang kesegeraan kesadaran.
Fenomenologi merupakan tawaran baru dalam mempelajari realita yang dikemukan Edmund Husserl sebagai jawaban dari pernyataan Immanuel Kant yang menyatakan tidak mungkin untuk memahami esensi dari fenomena (noumena). Dan metodologi yang dikemukakan oleh Edmund Husserl untuk memahami esensi dari fenomena adalah dengan cara membiarkan fenomena tersebut sebagai penuntun tanpa adanya faktor yang melakukan intervensi terhadap fenomena tersebut. Dan dengan membiarkan fenomena tersebut Pure dari faktor-faktor yang mengintervensinya, maka dapat tersaring dari fenomena-fenomena tersebut eidos atau intisari sejatinya.





DAFTAR PUSTAKA

Kuswarno, Engkus. Fenomenologi. Bandung : Widya Padjajaran. 2009.
http://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi
http://wangmuba.com/2009/04/20/filsafat-ilmu-dalam-psikologi-fenomenologi/
http://transformatif.blogspot.com/2007/08/psikologitransformatif-fenomenologi.html
http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2009/06/fenomenologi-sebagai-sebuah-metode.html
http://fenomenologiarsitektur.wordpress.com/2009/01/09/mengenal-kunci-kunci-fenomenologi-husserl-menurut-hamersma-1983/
http://qienz.blogspot.com/2009/02/fenomenologi-edmund-husserl-mencari.html
http://sarwono.staff.uns.ac.id/2009/03/06/fenomenologi-dan-hermeneutika-4/
http://veggy.wetpaint.com/page/F